Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran dari Raksasa Tua yang Membatu

Kompas.com - 04/09/2008, 15:02 WIB

GEREJA di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua, Jakarta Barat, seperti raksasa tua yang membatu di tengah hiruk-pikuk kemacetan kota. Seorang Satpam mempersilakan. Pintu masuk gereja terbuka. Empat kandelar lilin besar dengan reflektor berbentuk perisai bersimbol Batavia, tergantung di keempat sudut ruang sejak lebih 300 tahun lalu.

Sebuah mimbar bergaya barok karya H Bruyn (1695), berdiri di tengah altar. Di atasnya, terpasang kanopi dari Gereja Kubah di dalam kota Batavia lainnya yang dibongkar Gubernur Jenderal Belanda Daendels, tahun 1808. Mantan Kepala Tata Usaha dan Anggota Majelis Gereja Sion, Hadikusumo, Selasa (8/7/2008) siang menjelaskan, pembuatan mimbar bersegi delapan dengan paduan ukiran China, Eropa dan India ini, menghabiskan biaya 260 ringgit. Bandingkan dengan biaya pembangunan gereja yang 3000 ringgit di tahun 1695.

Menghadap altar, di sebelah kanan, berderet kursi besar berukir buatan pertengahan abad ke-17. Dibuat khusus bagi para petinggi VOC, termasuk buat gubernur jenderal Belanda. Di tengah atas sandaran kursi yang terbuat dari kayu hitam itu terukir kitab suci yang terbuka. Dikiri-kanannya dua malaikat kecil. Ada pula deretan bangku khusus untuk para penatua dan pendeta.

Di salah satu dinding gereja, ada batu bertulis dalam bahasa Belanda, "Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn". Di lantai atas, bagian belakang, terletak orgel tua dengan pipa-pipa panjang. Di samping kiri orgel, tampak sebuah roda besi. Roda bersabuk karet ini berfungsi mengisi angin yang meniup pipa-pipa nada ketika tuts orgel ditekan. "Ada dua orang yang memutar roda besi selama ibadah berlangsung. Tetapi sejak kedua pekerja pensiun tahun 1982, kami menggunakan perangkat listrik untuk mengisi angin," jelas Hadikusumo.

Ia menjelaskan, sejak dua tahun lalu, gereja yang dirancang Ewout Verhagen dari Rotterdam itu kini dilengkapi delapan AC besar dan pintu masuk lapis kaca. Setiap pekan pertama, orgel digunakan mengiringi koor, sementara sang pendeta berkhotbah di atas mimbar berkanopi. Di serambi gereja, terdapat 11 nisan makam. Awalnya, jumlah makam yang berada di sekeliling gereja mencapai 2.381 makam. Ke 2381 makam itu adalah korban ketika berjangkit wabah penyakit.

Mardijker

Gereja Sion dibangun di atas lahan seluas 6.725 meter persegi dengan luas bangunan 32 X 24 meter persegi. Bangunan ini didirikan di atas tiang pancang kayu besi sebanyak 10.000 batang. Kini, halaman gereja bertiang enam ini menyusut setelah tergusur pelebaran Jalan Pangeran Jayakarta dan Mangga Dua, masing-masing lima meter. "Bukan hanya halaman gerejanya saja yang tergusur, tetapi juga 200 jemaatnya yang dulunya tinggal di Mangga Dua," kata Hadikusumo.

Kehadiran Gereja Sion mengantar kita pada kisah panjang kaum mardijker (budak yang dibebaskan dengan syarat memeluk agama Protestan dan menggunakan bahasa Belanda) di Batavia.

Sebelum dibangun gereja, di tempat itu berdiri sebuah kapel atau gereja kecil (1675) bagi para budak Katolik (A Heuken SJ: Gereja-gereja Tua di Jakarta, Cipta Loka Caraka, 2003). Di sekitar kapel, para budak ini tinggal dan beranak pinak. Mereka berasal dari Bengal, Malabar, Koromandel, dan Srilanka, koloni Portugis di India. Mereka umumnya Katolik dan berbahasa Portugis.

Setelah VOC (Vereenigde oostindische Compagnie) merebut koloni-koloni Inggris, VOC membawa mereka ke Batavia untuk membangun kota. Sejak 1628, cikal bakal kaum mardijker ini membanjiri pinggiran dan kota Batavia. Tahun 1709, jumlah mereka di pinggiran kota mencapai 6.903 jiwa, sementara etnis Bugis 4.959 jiwa, dan imigran China 6.393 jiwa (Remco Raben: Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural, Banana KITLV, Jakarta 2007).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com