JAKARTA, KOMPAS.com Hal ini disampaikan Estu Rakhmi Fanani Dewi Tjakrawinata, Direktur LBH APIK Jakarta, Rabu (6/1/2010). Estu juga menegaskan perlunya bantuan hukum bagi perempuan korban, khususnya korban kekerasan berbasis jender, dan regulasi perlu mendapat bantuan hukum khusus selain Undang-Undang Penghapusan KDRT. Hingga saat ini, regulasi yang ada tidak menggunakan pengalaman perempuan sebagai dasar. Akibatnya, UU tersebut, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan UU Perkawinan, malah melahirkan diskriminasi. ”Substansi hukum untuk melindungi masyarakat tak tercapai,” kata Estu dalam laporan bertajuk, ”Catatan Perjalanan Bersama Perempuan Pencari Keadilan: Kriminalisasi Ancam Perempuan Korban”, Catatan Tahunan LBH Apik Jakarta. Sepanjang tahun 2009, LBH Apik menerima 1.058 pengaduan kasus. Dari jumlah itu, 62 persen atau 657 aduan kasus KDRT dan 9,4 persen (99 aduan) kasus perselisihan pascaperceraian. Di antara para korban KDRT, sebanyak 337 pengadu mengaku mengalami kekerasan psikis dari pasangannya. Jumlah korban yang mengadu dan mengaku mendapat kekerasan psikis 105 orang. Sisanya, selain mengalami kekerasan psikis, juga mengalami kekerasan fisik, ekonomi (penelantaran ekonomi), dan kekerasan seksual. Pada kesempatan itu, selain mendengar testimoni korban, hadir pula jaksa Silvia dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat; Lia dari Yayasan Pulih yang sering mendampingi korban KDRT; dan Layla dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana DKI Jakarta. Silvia yang pernah mengikuti pelatihan mengenai UU KDRT yang diselenggarakan LBH Apik berpendapat, jajaran penegak hukum, terutama kejaksaan, perlu mendapat pelatihan mengenai UU agar para jaksa lebih memahami UU itu. Dengan demikian, saat menangani kasus KDRT, mereka punya pemahaman yang sama dengan penegak hukum lain.