Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: Anjing (2)

Kompas.com - 10/01/2010, 07:59 WIB

Oleh: Samuel Mulia

Soal anjing pernah saya tulis. Sekarang "kesetrum" lagi. Jadi, saya menulis dengan judul sama sekali lagi. Seri kedua. Katakanlah begitu. Kesetrumnya gara-gara dua hal. Pertama, waktu menyimak tayangan Mbak Oprah soal anjing yang membuat beberapa manusia terpidana di dalam penjara memiliki kualitas hidup lebih baik. Terutama mengatasi kesepian dan tekanan batin.

Kedua, saya teringat sebuah kejadian tepat tanggal 31 Desember tahun lalu. Saya sedang berada di dalam taksi dan berhenti di lampu merah. Ketika saya menoleh ke kiri, pada mobil yang berdampingan dengan taksi, saya terpana dengan tulisan di pintu mobil Jeep itu. K9 Protection yang masih dibubuhi lambang bergambar kepala anjing dan bodycopy-nya yang mengelilingi gambar itu berbunyi: loyal, tough, dependable.

Lebih rendah

"Anjing," demikian saya mengucap, nyaris tak ada suaranya diikuti helaan napas yang panjang dan kemudian timbullah beberapa pertanyaan, Sederhana, tetapi menikam. Mencoba menghilangkan, tetapi susahnya setengah mati.

Begini pertanyaan itu. Mengapa anjing yang binatang malah dipakai sebagai "teman", bukan saya yang manusia? Kok bisa manusia digantikan binatang? Perlukah saya malu kalau ternyata anjing itu lebih berkualitas ketimbang saya, kualitas seperti yang ditunjukkan kata-kata di pintu mobil Jeep itu?

"Ya iyaaalaaahhh…. So, pasti, anjing lebih baik dari kamu," nurani saya mengambil kesempatan emas menghabisi saya yang sudah kesetrum. Kemudian nurani yang berteriak pagi hari itu langsung membuka borok sehingga ngeh ternyata saya memang lebih rendah dari anjing. Maka, tak salah kalau anjinglah yang menuntun, sementara saya ini cuma bisanya menuntut. Menuntun juga bisa, sih. Menuntun ke jurang, maksudnya.

"Pertama, mulut lo itu banyak omongnya." Demikian menurut nurani saya. Anjing punya mulut untuk menggonggong. Saya kalau sudah menggonggong tak bisa berhenti dan merasa gonggongan saya paling benar. Sebagai manusia saya lupa dan sering lupa atau pura-pura lupa manusia itu kadang hanya mau didengar, tak mau diberi petuah, meski nyata-nyata tindakannya salah.

"Kamu itu," kata nurani saya. "Makin orang salah, makin merasa itu kesempatan emas untuk menggonggong. Apalagi kalau satu tangan membawa kitab suci, tangan lain nunjuk-nunjuk. Kamu itu belajar jadi pendengar yang baik, bukan pengkhotbah yang menghakimi," lanjut dia lagi.

Saya membalas sambil berbisik. "Namanya juga pengkhotbah, bukankah tujuan akhirnya menghakimi meski caranya sehalus sutra?" Nurani saya langsung membentak, "Syaaatttt… appp."

Tetap masih rendah

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com