JAKARTA, KOMPAS.com - Peringatan itu diutarakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zein, Rabu (20/1/2010), di Jakarta. Ia menanggapi tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum kepada tiga terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Ketiga terdakwa yang dituntut hukuman mati itu adalah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Wiliardi Wizar, dan pengusaha Sigit Haryo Wibisono. Terdakwa lainnya, pengusaha Jerry Hermawan Lo, dituntut hukuman 15 tahun penjara (Kompas, 20/1). Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kamal Sofyan menegaskan, tuntutan hukuman mati terhadap Antasari, Wiliardi, dan Sigit adalah wajar. Tuntutan hukuman mati itu sudah melewati proses panjang yang diyakini benar. Kamal menegaskan, sejak dinyatakan lengkap, kejaksaan meyakini perkara itu akan terbukti. Jaksa yang berasal dari berbagai daerah pun solid dalam merumuskan tuntutan hukuman mati itu. Riwayat Antasari sebagai jaksa tak bisa dipakai sebagai rujukan guna meringankan tuntutan. Selain itu, imbuh Kamal, tuntutan seumur hidup terhadap lima terdakwa eksekutor Nasrudin di Pengadilan Negeri Tangerang juga menjadi acuan tuntutan bagi Antasari, Wiliardi, dan Sigit. ”Masak otaknya disamakan. Kan, tidak mungkin,” ujarnya. Patra menegaskan, tuntutan mati yang diajukan jaksa adalah peringatan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di negeri ini. Kalau dilaksanakan, hukuman mati potensial melanggar hak sipil yang fundamental dan melanggar konstitusi. Pasal 28I UUD 1945, kata Patra, jelas menyatakan hak untuk hidup adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tahun 2005, Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menyebutkan setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak itu wajib dilindungi dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang. ”Hukuman mati juga tidak bisa dikoreksi,” ujar Patra. Penegak hukum yang menuntut dan melaksanakan hukuman mati dapat saja melakukan kesalahan. Walau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih mencantumkan hukuman mati, tetapi sudah kehilangan makna. Hukum Belanda, yang menjadi acuan KUHP, sudah menghapuskan hukuman mati.