Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilih Nyawa atau Devisa?

Kompas.com - 27/11/2010, 04:21 WIB

Oleh Said Aqil Siroj

Musibah yang menimpa Sumiati dan Kikim sekali lagi menampar wajah Indonesia. Walau sudah terlambat, kita harus berseru, ”Cukup!” Ini sudah cukup.

Dari waktu ke waktu persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) selalu klasik dan berputar-putar di wilayah yang itu-itu juga. Di satu sisi para TKI kita sebut pahlawan devisa. Namun, anehnya, di sisi lain para pahlawan ini diperlakukan dengan cara yang tak manusiawi. Di bandara koruptor bisa melenggang bebas di karpet merah, sementara TKI harus ”disterilkan” melalui terminal dan lawang khusus.

Kita sering menilai TKI dari segi ekonomi yang merendahkan martabat kemanusiaan. Secara salah kaprah kita mengamini ungkapan negara lain mengekspor produk, Indonesia mengekspor babu. Ungkapan ini sungguh melecehkan sumbangsih besar para TKI. Bahwa sumbangan devisa dari TKI sangat besar adalah fakta yang sama-sama kita ketahui.

Khazanah Nusantara

Sumbangsih lain yang sering luput adalah peran TKI sebagai duta kebudayaan. Saya takjub menjumpai banyak TKI yang bekerja merawat anak kecil atau orangtua dengan cara dan khazanah Nusantara. Sejumlah TKI yang Muslim bahkan kerap menidurkan bayi dalam gendongan dengan menyenandungkan selawat dan puji-pujian kepada Tuhan.

Hari-hari ini dengan mata telanjang kita menyaksikan TKI di Saudi direndahkan kemanusiaannya justru di negeri tempat Nabi Muhammad lahir dan berjuang melawan perbudakan. Sejumlah kezaliman terhadap TKI dibiarkan terus terjadi dan malah cenderung menumpulkan kepekaan kita untuk peduli. Akal sehat dan nurani kita terganggu.

Pada 1983 saya bertanya kepada Jenderal (Purn) Achmad Tirtosudiro, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Waktu itu nasib TKI sudah memprihatinkan, sementara Pemerintah Indonesia seperti pura-pura tak tahu. Misalnya saja, saya masih tak yakin hingga sekarang apakah pemerintah peduli nasib ratusan TKI yang tinggal di kolong jembatan di daerah Jeddah. Saya bertanya, ”Apa yang bisa dilakukan kedutaan terhadap nasib TKI?” Pak Tirtosudiro menjawab dengan apologetik, tetapi akurat, ”Kami tak bisa berbuat apa-apa karena ini kebijakan dari Jakarta.”

Lengkaplah sudah ironi TKI. Sementara Pemerintah Arab Saudi memang susah diajak berembuk, Pemerintah Indonesia sendiri tak pernah sungguh-sungguh menjamin nasib TKI, kecuali memeras keringat mereka. Betapapun mudah saya mengerti mengapa bisa terjadi, musibah yang menimpa TKI sama sekali tak bisa saya maklumi. Ironi TKI tak bisa dimaklumi karena banyak hal.

Pertama, sudah sekitar dua dekade wacana nota kesepahaman Indonesia-Arab Saudi digaungkan. Namun, hingga kini hal itu ibarat menanti pepesan kosong. Di dalam negeri kita saksikan DPR terus menunda pengesahan RUU Perlindungan TKI yang dianggap bukan prioritas. Sementara Pemerintah Saudi terus berdalih penjaminan nasib TKI tak perlu nota kesepahaman. Bersamaan dengan itu, jaringan mafia TKI juga masih leluasa beroperasi memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat akar rumput.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com