Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suku Anak Dalam Bermalam di Depan Gedung DPR

Kompas.com - 13/12/2011, 22:38 WIB
Imanuel More

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Puluhan warga Suku Anak Dalam asal Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, memilih bermalam di depan Gedung DPR RI  Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Aksi ini dilakukan setelah para wakil rakyat tak kunjung memastikan penyelesaian masalah tanah antara Suku Anak Dalam dan sebuah perusahaan kelapa sawit.

"Kami tidak akan pulang sebelum ada kepastian. Kami tidak mau terus dipermainkan," kata Abbas selaku Ketua Suku Anak Dalam Dusun Tanah Menang kepada Kompas.com di lokasi unjuk rasa, Selasa (13/12/2011) malam.

Abbas menjelaskan, bersama 50-an warga Suku Anak Dalam Bathin Bahar 113 yang mewakili warga Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi, dan Dusun Padang Salak, mereka datang ke Jakarta untuk mengadukan masalah tanah ulayat yang diambil secara sepihak oleh sebuah perusahaan kelapa sawit.

Masalah itu terjadi sejak 1984 dengan masuknya sejumlah dusun tua milik Suku Anak Dalam menjadi Hak Guna Usaha (HGU) PT Bangun Desa Utama atau BDU (kemudian menjadi PT Asiatik Persada). Lahan mereka diambil tanpa kompensasi, ganti rugi, dan lokasi pengganti.

Mawardi, Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jambi, mengatakan, perubahan hak atas tanah itu memicu terjadinya konflik masyarakat dan korporasi anggota Wilmar Group itu. "Tidak hanya tiga dusun tua, tanah ladang mereka juga ikut digusur untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit," kata Mawardi.

PRD dan Serikat Tani Nasional (STN) yang membantu advokasi kepentingan warga Suku Anak Dalam (SAD) telah mencoba memediasi pertemuan dengan pihak perusahaan dan pemerintah daerah. Namun, hingga kini belum ada penyelesaian atas masalah ini.

PT BDU mendapatkan sertifikat HGU pada 20 Mei 1987 setelah mendapat izin prinsip HGU berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri tanggal 1 September 1986 dengan SK Nomor 46/HGU/DA/86. Sayangnya, menurut Mawardi, sertifikat penggunaan lahan seluas 20 hektar ini tidak memiliki gambar atau denah situasi tanah dan penjelasan.

Harapan warga SAD 113 sempat muncul ketika BPN Pusat mengeluarkan Surat Penugasan Nomor 12/PPSKP/VII/2007 untuk melakukan penelitian atas tanah garapan masyarakat SAD di tiga dusun. Penelitian dilakukan pada 19-25 Juli 2007. "Hasilnya, BPN mengakui ada tanah adat masyarakat SAD di lahan HGU PT Asiatik," ujar Mawardi.

Meskipun demikian, temuan adanya lahan masyarakat adat SAD seluas 3.614 hektar itu tidak ditindaklanjuti pihak-pihak terkait, termasuk BPN dan pemda setempat.

"Masih ada 63 KK warga kami yang bertahan tinggal di lokasi itu sampai sekarang," kata Abbas. Bersama masyarakat dan SKN, pihak perusahaan pernah melakukan identifikasi jumlah warga SAD yang terkena dampak HGU. Hasilnya, ada 1.359 anggota masyarakat SAD yang terdata. Namun, langkah penyelesaian yang diharapkan tak kunjung terlaksana.

Akhirnya warga memutuskan untuk melanjutkan aduan mereka ke DPR RI. Siang tadi, perwakilan masyarakat telah ditemui sejumlah anggota Komisi II DPR. Sayangnya, menurut Abbas, DPR hanya menjanjikan akan memediasi pertemuan dengan pihak perusahaan, BPN, dan pemda. Karena sering mendapatkan janji serupa, masyarakat SAD memutuskan tetap bertahan di depan gedung wakil rakyat hingga ada kejelasan nasib mereka. "Pulang pun hidup kami di sana tidak aman," kata Abbas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com