Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suami Istri Ini Rela Tinggalkan Anak untuk Berjuang

Kompas.com - 03/01/2012, 09:33 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak ada perjuangan yang sia-sia, keyakinan inilah yang dipegang teguh oleh Purwati (47) dan Yahya (57), pasangan suami istri warga Desa Lukit, Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau yang melakukan aksi jahit mulut di depan gedung DPR/MPR. Mereka datang bersama 82 warga lainnya dengan tujuan menuntut agar Kementerian Kehutanan mencabut SK Nomor 327/Menhut Tahun 2009 tentang izin operasional HTI atas perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Saat ditemui Kompas.com, Senin (2/12/2012) di tenda seadanya yang selama 18 hari ini menjadi rumahnya di Jakarta, Purwati mengisahkan alasannya mengapa sampai hari Selasa (3/1/2012) ini, ia bersama suaminya masih bertahan. "Kami di kampung punya empat hektar kebun sawit, empat hektar kebun karet, dan satu hektar kebun sagu, semuanya tanah warisan leluhur. Dari situ awak dapat sekitar Rp 600.000 sampai Rp 800.000 per bulan. Gara-gara ini lah kami mau perjuangkan hak kami," ujarnya.

Dia rela meninggalkan mata pencaharian satu-satunya tersebut untuk menuntut haknya. Tanah seluas empat hektar sawit serta satu hektar sagu miliknya diserobot perusahaan asal Singapura, RAPP untuk ditanami pohon akasia demi kebutuhan industri.

"Nanti bagaimana masa depan anak cucu awak kalau lahan diambil perusahaan," kata Purwati.

Selama berjuang di Jakarta, pasangan suami istri tersebut mengaku kerap dilanda rasa rindu kepada kelima anak mereka, terutama putrinya yang masih duduk di kelas 1 MTs, Nurhikmatun (12) dan Kurnia Romadhon (15) yang duduk di kelas satu SMA. Sementara tiga anak lainnya telah berkeluarga dan tinggal terpisah dengan dirinya.

"Awak kangen sekali, kalau lihat orang lain bawa anak tambah kangen kami. Sampai nggak bisa tidur kangen anak," ujarnya.

Purwati melanjutkan, rasa kangen sedikit terobati ketika berhubungan via SMS. "Selama jahit mulut kan kami nggak bisa banyak cakap, jadi hanya SMS saja, lumayan lah," ujarnya.

Saat ini Purwati dan ke-27 pelaku jahit mulut telah melepas jahitannya karena telah ada kesepakatan dengan Kementerian Kehutanan untuk menyurati Bupati Meranti untuk mencabut SK tersebut. Namun, tidak bagi sang suami. Benang hitam yang sudah mulai berkarat itu masih menembus bibirnya. Saat ingin dilepaskan, Yahya memberikan aba-aba untuk jangan melepas jahitan di mulutnya hingga tuntutan warga sepenuhnya diselesaikan.

"Sebenernya kasihan ngeliat bapak begini, awak sebenarnya tetap mau jahit mulut, tapi karena ada penyakit jadi terpaksa lepas," ujarnya.

Yahya hanya bisa terbaring lemah di atas kasur tipis ditemani oleh Purwati yang sesekali memberikan susu dan roti kepada suaminya. "Harapannya supaya semua cepet selesai, supaya cepat pulang, itulah harapan kami. Kami yakin nggak ada yang sia-sia kok," ujarnya.

Sambil memijit kaki sang suami. SK Nomor 327/Menhut Tahun 2009 yang ditandatangani MS Kaban itu merupakan izin operasional hutan tanaman industri (HTI) yang dikantongi PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). Dengan adanya SK ini, RAPP memiliki kewenangan untuk mengubah hutan dan perkebunan milik warga saat ini menjadi hutan akasia untuk kebutuhan industri.

Selain penyerobotan lahan warga, SK HTI ini juga dikawatirkan akan berpengaruh besar terhadap kondisi lingkungan lahan gambut di salah satu pulau kecil terluar RI tersebut. Purwati dengan warga lain bertekad untuk melakukan aksi jahit mulut kembali jika permasalahan haknya tak kunjung berbuah solusi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com