Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berdesakan di KA Ekonomi hingga Hak Asasi yang Terabaikan

Kompas.com - 19/01/2012, 06:47 WIB

BOGOR, KOMPAS.com — Ansori Bejo (45) masih ingat pengalamannya sebagai penumpang di atap kereta rel listrik (KRL) ekonomi. Bersama ratusan komuter di lintas Bogor, dia memilih duduk di atap. Sementara di kabin penumpang, orang berjubel tanpa ada ruang tersisa.

”Kereta sangat padat pada pukul 06.00-08.00. Kereta ekonomi tidak lewat setiap saat sehingga penumpang terpaksa naik kereta yang sudah penuh itu agar tidak terlambat kerja,” ujar Ansori yang bekerja di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Menjadi penumpang di atap tidak selamanya menyenangkan. Beberapa kali kawan sesama penumpang di atap terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Ada juga yang tersengat listrik. Kejadian ini dapat menyebabkan penumpang meninggal.

Solidaritas sebagai penumpang di atap membuat mereka rutin saweran untuk membantu biaya hidup dan pendidikan anak-anak mantan penumpang kereta ini. Lama-kelamaan, terbentuklah Yayasan Futuhatulaitam di Bojong Gede, Bogor.

Kini, yayasan ini beranggotakan 1.000 orang, dengan 70 persen di antaranya pengguna kereta.

”Kami tidak hanya mengumpulkan uang untuk membiayai anak-anak yatim, tetapi juga sudah tidak lagi naik ke atap kereta,” kata Ansori yang lima tahun terakhir memilih ikut berdesakan di dalam KRL ekonomi.

”Sekarang lebih baik berdesak-desakan karena kami sadar dampak naik ke atap kereta,” kata Ansori yang juga menjabat sebagai pembina Yayasan Futuhatulaitam.

Dibutuhkan

Dia mengakui, keberadaan KRL sangat membantu komuter. Apalagi, mereka yang berkantong pas-pasan dan dipaksa berkejaran dengan waktu agar tidak terlambat sampai ke tempat kerja. Sebagai contoh, tarif KRL ekonomi dari Bogor hanya Rp 2.000, sedangkan tarif bus mencapai Rp 10.000. Belum lagi waktu tempuh bus yang lebih lama daripada KRL.

Sebagian penumpang kereta yang tergabung dalam Yayasan Futuhatulaitam berprofesi sebagai penjaga toko yang bergaji sesuai standar upah minimum provinsi, termasuk uang makan. Uang makan dijatah Rp 25.000 sehari. Jika uang makan itu digunakan untuk membeli tiket KRL Commuterline, mereka harus mengeluarkan Rp 14.000 untuk ongkos kereta pergi-pulang. Belum lagi jika harus menyambung kendaraan lain ke tempat kerja atau rumah. Hal ini memberatkan sebagian pekerja. Itu sebabnya, KRL ekonomi ini menjadi andalan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com