Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilukada Jakarta di Mata Waria

Kompas.com - 05/04/2012, 08:07 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ada tapi kerap terlupakan, mungkin itu menjadi ungkapan relevan bagi kaum waria (wanita-pria) di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Hanya karena perbedaan penampilan serta tingkah laku, akhirnya mereka termarginalkan dalam kehidupan masyarakat yang dianggap "normal".

Ketidakadilan pun muncul saat para lekong, sebutan akrab kaum ini, tak bisa mengakses pelayanan publik. Misalnya pelayanan kesehatan, akses pembuatan KTP, akses ke tempat-tempat umum, susah mengakses pekerjaan, dan kerap mendapat tindak kekerasan. Padahal, mereka juga bagian dari warga negara Indonesia yang tak boleh luput dari perhatian pemerintah.

"Ketika ada orang yang berbeda orientasinya, identitas jendernya berbeda, negara harus paham itu. Terlepas dari orientasi seksnya apa, jendernya apa, tiap warga negara harusnya memberikan hak dan kewajiban yang sama," ungkap Yuli Rustinawati saat ditemui Kompas.com di kantornya di Jalan Tebet Timur Dalam IV, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2012).

Yuli adalah Ketua Organisasi Arus Pelangi, organisasi yang kerap mengadvokasi persoalan hukum kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transjender). Ia mengungkapkan, sebenarnya masyarakat umum secara kasat mata telah mengetahui eksistensi kaum transjender, atau yang paling terlihat dari penampilan, adalah kaum waria. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tempat-tempat di Jakarta yang menjadi titik berkumpulnya kaum waria atau LGBT tersebut.

Meski demikian, mereka masih saja mendapatkan perilaku diskriminatif di masyarakat.

"Misalnya ada waria, secara identitas jender kan berbeda tuh, kemudian sulit mengakses layanan kesehatan, sulit mengakses pekerjaan karena tampilan tidak sesuai dengan yang terkonstruksikan di masyarakat. Akses-akses seperti itu sulit untuk kita dapatkan karena kita berbeda," lanjutnya.

Yuli mengungkapkan bahwa sebenarnya permasalahan waria merupakan permasalahan ketimpangan kelas sosial-ekonomi. Meskipun bukan dianggap penyebab munculnya kaum ini, 80 persen kaum waria berada di kelas ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, permasalahan waria sama saja dengan permasalahan kesejahteraan ekonomi.

Apa kata lekong tentang Pemilukada Jakarta?
Beberapa waktu belakangan, perhatian warga Jakarta tertuju pada pesta demokrasi lima tahunan, Pemilukada DKI Jakarta.

Sesuai dengan proses yang bergulir, 6 pasang calon, baik dari partai politik maupun dari independen, menghiasi media masa dengan menawarkan berbagai program bagi Ibu Kota. Secercah harapan pun muncul, dari hiruk-pikuknya kemacetan, dari sumpeknya permukiman kumuh, dari paniknya warga akibat banjir, termasuk dari ketidakadilan kaum marginal warga Jakarta lainnya yang menanti untuk diselesaikan.

Widodo, Sekretaris Jenderal Arus Pelangi, menambahkan, melihat prospek keenam calon tersebut tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak mereka sebelumnya, yang secara khusus memiliki keberpihakan terhadap orang-orang marginal di masyarakat karena kaum waria termasuk di dalamnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com