Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertarungan Baru Dimulai!

Kompas.com - 13/07/2012, 05:21 WIB

 Oleh DONNY GAHRAL ADIAN

Demokrasi adalah pertarungan. Kalah menang soal biasa. Namun, Pilkada DKI kali ini tidak biasa. Bukan karena diikuti oleh kandidatkandidat luar biasa. Saya menduga, pertarungan politiknya yang bukan pertarungan biasa.

Sudah lama saya merindukan pertarungan politik sebenar-benarnya. Bukan pertarungan antara cukong dan konsultan politik belaka, melainkan pertarungan antara barisan ideologis dan gerombolan oportunis. Pertarungan antara kepekaan dan keahlian. Politik orang melawan politik barang. Pertarungan yang pemenangnya adalah kedaulatan rakyat dan bukan semata siasat.

Agon

Demokrasi adalah kompetisi. Semasa Yunani Kuno, orang menyebut agon sebagai kompetisi antarwarga untuk menunjukkan keutamaan masing-masing. Agon diturunkan dari kompetisi gimnastik, di mana atlet berlomba menunjukkan kehebatan masing-masing di arena. Agon dimotori oleh insting narsistik yang kental. Setiap orang berlomba memamerkan kelebihan dirinya di antara orang banyak. Ada hierarkis di situ. Orang banyak adalah mereka yang melongo, sementara para aristos adalah yang berdiri pongah dengan kepala menengadah.

Apabila demokrasi klasik menuduh kompetisi politik sebagai ajang pamer kebolehan pribadi, pilkada kita justru sebaliknya. Semua kandidat bertiwikrama menjadi filantropis yang bernafsu. Tengok program mereka. Hampir semua menjanjikan pengobatan gratis bagi warga kota.

Hampir semua berjanji menggratiskan sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Bertolak belakang dengan semangat agon, semua kandidat justru mengubur dalam-dalam insting narsistiknya.

Apakah benar demikian? Pertarungan agonistik sejatinya tetap terjadi antarkandidat. Buktinya, puluhan miliar rupiah dikeluarkan untuk membedaki wajah politik masing-masing. Kontes pilkada bisa dibilang hampir mirip kontes kecantikan. Warga bukanlah partisipan yang menggunakan hak politiknya secara aktif. Warga adalah mereka yang duduk di seberang panggung sambil mengagumi kecantikan politik para kontestan. Masing-masing pun bersiap menentukan pilihannya sembari membayangkan, bukan memahami.

Pilkada adalah pesta di seberang jalan. Modal dan iklan adalah balon warna-warni yang memeriahkan pertarungan. Semua kandidat bertingkah filantropis, tetapi terus memompa pundi-pundinya supaya dapat tampil paling berkesan di antara yang lain. Pemilih pun jadi sulit membedakan antara kandidat satu dan lainnya. Semua mengusung program yang hampir sama. Semua mengibarkan panji-panji kerakyatan yang sewarna. Sekilas, tidak ada distingsi fundamental bagi warga untuk menetapkan suaranya.

Para kandidat juga berlatar belakang kelas yang lebih kurang sama. Semua datang dari kelas menengah terdidik yang memiliki jarak sosial dengan sebagian besar konstituennya. Kelas menengah biasanya memiliki kacamata sama dalam melihat kesulitan rakyat kecil: sebagai persoalan untuk dipecahkan dengan rumus yang terberi. Mereka memecahkan, bukan merasakan masalah. Slogan politik yang berseliweran adalah ”profesional”, ”ahli”, ”kompet en”, ”efisien”, ”tiga tahun bisa”, dan sebagainya. Padahal, kita mencari gubernur, bukan direktur perusahaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com