Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LSM Curiga Kedatangan Hillary Clinton Terkait Freeport

Kompas.com - 02/09/2012, 17:59 WIB
Dian Maharani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencurigai agenda di balik kedatangan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Indonesia pada 4 September 2012 mendatang.

Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), National Papua Solidarity (Napas), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan beberapa kelompok masyarakat lainnya menduga kedatangan tersebut terkait keberadaan Freeport.

Mereka mewaspadai kedatangan Hillary akan membawa agenda AS dalam rangka mempertahankan dominasinya menguasai kekayaan alam Indonesia, khususnya dalam sektor tambang.

"Kedatangan Hillary ke Indonesia bertepatan dengan sedang berlangsungnya proses renegoisasi kontrak antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Repdem, Masinton Pasaribu di Sekretariat Repdem, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (2/9/2012).

Menurutnya, kedatangan Menlu AS memiliki kepentingan tersendiri dalam mempertahankan kekuatan politik dan ekonomi AS di Indonesia. Masalah Freeport untuk kepentingan AS sendiri diduga akan diperbincangkan dalam kedatangannya nanti.

"Kedatangan ini Amerika tetap berkepentingan mempertahankan dominasi politik dan ekonominya di wilayah Indonesia, khususnya untuk mempertahankan wilayah regional Asia Pasifik. Apalagi amerika sudah mempertahankan Asia Pasifik sebagai masa depan dunia," terangnya.

Kedatangan Hillary dikhawatirkan akan mengintervensi pemerintah Indonesia dalam renegoisasi kontrak pada PT Freeport. Menurut Masinton keberadaan PT Freeport selama ini tak pernah menguntungkan rakyat Papua. Justru kerugian besar bagi Indonesia karena sumber daya alamnya makin habis dikuasai oleh asing.

"Kami meminta supaya pemerintah tidak melakukan renegoisasi sepihak yang pernah dilakukan pada orde baru, Soeharto pada Freeport yang tidak melibatkan rakyat, tidak meminta persetujuan rakyat indonesia, khususnya warga papua," ujarnya.

Sejak kontrak Karya I tahun 1967, perusahaan Freeport telah mengalami perpanjangan kontrak karya II tahun 1991 untuk 30 tahun, hingga dua kali 10 tahun perpanjangan kontrak berikutnya hingga 2041. Proses perpanjangan kontrak menurutnya tanpa ada renegoisasi untuk kepentingan nasional.

Mereka meminta pemerintah segera mengevaluasi kontrak terhadap Freeport dan operasionalnya selama ini. Keberadaan Freeport selama ini dinilai tak mampu menyejahterakan masyrakat Papua di tanahnya sendiri.

"Pemerintah dalam melakukan renegoisasi ini jangan setengah hati, jangan berpikiran jangka pendek. Kita pengin renegoisasi ini diletakkan dalam kepentingan nasional, dan kepentingan rakyat Indonesia ke depan dan rakyat papua. Nah, kalau renegoisasi ini tidak menempatkan itu kami minta renegoisasi ini dihentikan," ujarnya.

Hal senada dikatakan Alves Fonataba, Juru bicara National Papua Solidarity. Ia justru meminta penambangan PT Freeport segera dihentikan. Mereka mendesak nasionalisasi Freeport tanpa syarat demi mewujudkan negara kedaulatan rakyat Papua atas kekayaan emasnya.

"Kami minta ditutup, karena tidak menguntungkan sama sekali. Kalau pemerintah bilang ada kesejahteraan itu bertentangan, pengelolaan sumber daya alam saja sudah tidak adil," ujar Alves.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Nasional
    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Nasional
    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Nasional
    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Nasional
    Ganjar Bubarkan TPN

    Ganjar Bubarkan TPN

    Nasional
    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    Nasional
    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    Nasional
    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

    Nasional
    Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Nasional
    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Nasional
    Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Nasional
    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Nasional
    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Nasional
    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com