Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kajian MRT Hak Publik

Kompas.com - 06/12/2012, 04:53 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kajian teknis ataupun analisis mengenai dampak lingkungan proyek mass rapid transit adalah dokumen publik. Karena itu, masyarakat berhak untuk ikut mempelajari dan mengevaluasi dokumen tersebut. Pemerintah diminta tidak menutup hak publik ini.

”Sampai sekarang, bahkan setelah diajak bicara oleh orang- orang pemerintahan terkait MRT, tidak pernah saya melihat dokumen kajiannya. Padahal itu dokumen publik,” kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Ellen SW Tangkudung, Rabu (5/12).

Tanpa melihat kajian aslinya, Ellen dan ahli transportasi ataupun tata ruang sulit mengevaluasi terkait untung rugi pembangunan MRT saat ini. ”Sekadar memberi saran pembenahan saja sulit karena kami tidak bisa melihat bendanya.” katanya.

Kesulitan memperoleh kajian MRT ini juga disampaikan oleh Masyarakat Peduli MRT yang terdiri dari warga Jalan Fatmawati, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, serta persatuan sopir dan pemilik angkutan umum Lebak Bulus saat mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Oktober lalu.

”Sudah beberapa kali pertemuan dengan perwakilan warga dan perwakilan pemerintah yang terkait dengan proyek MRT. Saya juga selalu menanyakan mana kajian MRT yang katanya sudah ada sejak tahun 1985 itu,” kata Budi Santoso dari Bidang Penyelesaian Laporan/Pengaduan ORI, kemarin sore.

Sesuai dengan keterangan Direktur Transportasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Prihartono di kantor ORI, kajian-kajian MRT ada di beberapa lembaga, antara lain Direktur Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta PT MRT.

Sampai awal Desember, belum bisa dipastikan pihak-pihak seperti yang disebut Bambang yang bersedia membuka kajian MRT. ”Kami terus berupaya agar pihak-pihak terkait mau terbuka agar masalah MRT ini tidak berlarut-larut,” kata Budi.

Ellen menegaskan, meskipun kajian MRT tahun 1985 itu sudah memperhitungkan perkembangan Jakarta hingga masa kini, diyakini tetap tidak signifikan dengan kondisi riil. Jika kondisi Jakarta dan sekitarnya saat ini dibandingkan dengan lima tahun lalu saja sudah sangat berbeda.

”Lima tahun lagi, tak ada yang tahu. Bagaimana mungkin kajian berusia 20 tahun lebih bisa tahu pasti kondisi saat ini,” katanya.

Subsidi 25 persen

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menawarkan subsidi tiket MRT 25 persen dari harga yang sebenarnya. Angka itu dinilai logis dari sisi kemampuan anggaran agar tidak menjadi beban pemerintah. Skema pembayaran utang yang saat ini disepakati terlalu berat sehingga subsidi pemerintah menjadi besar.

”Logikanya subsidi 25 persen itu logis, misalnya tiket Rp 10.000 per orang, kami (Pemprov DKI) memberi subsidi Rp 2.500 per orang itu logis. Paling tidak subsidi maksimal Rp 5.000 per orang. Sekarang harga tiketnya Rp 10.000 per orang, nilai subsidi Rp 28.000,” kata Gubernur DKI Joko Widodo, Rabu (5/11) malam, di Balaikota Jakarta.

Subsidi itu, kata Jokowi, terkait skema pembayaran utang ke Jepang. Sejauh ini, skema pembayaran utang 58 persen ditanggung DKI dan 42 persen ditanggung pemerintah pusat. Jokowi menawarkan skema pembayaran utang 70 pemerintah pusat dan 30 persen Pemprov DKI.

Menurut Jokowi, tawaran tersebut tidak mudah. Namun, dia masih menyimpan keyakinan sebab akan ada pertemuan yang melibatkan Menko Perekonomian dengan melibatkan lembaga terkait. Pihak yang akan hadir dalam pertemuan dua hari itu antara lain Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Sementara itu, rencana pembangunan MRT di Jakarta ternyata sudah muncul sejak zaman Presiden Soekarno. Presiden pernah memerintahkan agar ada pembangunan MRT di DKI Jakarta untuk mengantisipasi kemacetan di Jakarta. Namun, sayangnya, rencana itu baru tahap awal, setelah itu hilang seiring gejolak politik tahun 1965.

”Perintah Presiden Soekarno keluar tahun 1964. Dia mulai memikirkan dampak kemacetan Ibu Kota pada masa datang. Ketika itu dibentuk lembaga bernama Eka Pranala untuk melaksanakan proyek,” tutur Dr Darrundono, dosen Departemen Arsitektur dan Perencanaan Wilayah Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Pada lembaga bernama Eka Pranala, Darrundono duduk sebagai sekretaris. Tim belum banyak melakukan apa-apa, setelah itu terjadi pergantian kekuasaan RI tahun 1965. (NEL/NDY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com