Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melacak Jejak Batak di Jakarta

Kompas.com - 03/02/2013, 09:13 WIB

Demi kehormatan dan kesuksesan, orang Batak lalu mengembara. Di perantauan, mereka membuat jejak berupa perkampungan Batak, gereja, dan deretan ”lapo” atau kedai Batak.

Lapo-lapo itu berderet memanjang. Aneka menu khas Batak tertulis jelas di papan nama lapo, mulai dari ikan mas arsik, sambal teri, hingga saksang, dan panggang. Terselip di antara deretan lapo, warung mi siantar dan pedagang pisang barangan khas Medan.

Itulah sejumput suasana Sumatera Utara yang hadir di sepanjang Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur. ”Datanglah hari Minggu, sepanjang jalan ini penuh mobil. Orang yang baru pulang dari gereja mampir makan. Wuih, penuh asap dan harum panggangan,” ujar G Marpaung (70), yang tinggal di daerah itu.

Di belakang deretan lapo-lapo itu, suasana Tanah Batak lebih kental lagi. Di sana ada perkampungan orang Batak yang disebut Kampung Mayasari (karena di situ pernah ada pul bus Mayasari Bhakti). Penghuninya adalah orang Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, dan Angkola.

Tidak mengherankan, lagu-lagu pop Batak senantiasa terdengar dari kampung itu. Gereja Batak bertebaran di sejumlah sudut. Saking banyaknya gereja, baru 200-an meter melangkah sudah tiga gereja terlewati.

”Warga RW 008 di sini 99,9 persen orang Batak,” kata Marpaung, yang tinggal di kampung itu sejak tahun 1969.

Kampung Mayasari merupakan salah satu jejak diaspora orang Batak di Jakarta. Di luar itu, ada kantong-kantong permukiman orang Batak lainnya di Jakarta dan sekitarnya, yakni di Pulo Mas, Kernolong, Peninggaran, Pramuka, Senen, Taman Mini Indonesia Indah, hingga Tambun (Bekasi).

”Mulanya hanya satu keluarga, nanti bertambah. Kalau sudah ada rumah makan Batak, berarti sudah banyak orang Batak di situ,” kata B Ginting (50), yang pernah tinggal di Kampung Mayasari.

Lapo dan terminal

Martogi Sitohang (42), seniman Batak, secara berseloroh menambahkan, cukup satu orang Batak tinggal di satu tempat. ”Nanti dia akan mencari saudaranya atau dicari keluarganya. Kalau sudah bertemu, mereka berkumpul,” katanya.

Mereka tidak perlu takut tercecer di perantauan. Datang saja ke gereja, lapo, dan terminal pasti bertemu dengan saudara. ”Cukup memberi salam, menyebutkan marga, kampung, dan nomor urut silsilah. Contohnya nih, Sihombing nomor 15, setelah dicocok-cocokkan masih saudara, pintu rumah Sihombing pun pasti terbuka,” kata Martogi.

Makna kekerabatan buat orang Batak itu memang sangat luas. Kekerabatan tidak hanya tercipta karena pertalian darah, tetapi juga karena pertalian marga dan perkawinan. Martogi mengenang ketika pertama kali merantau ke Jakarta ia mencari saudara di gereja dan lapo. Saudara yang ditemukan di perantauan itulah yang membantunya mendapatkan pekerjaan. Setelah itu, ia memberikan kabar ke kampung bahwa ia telah bertemu tulang-nya (paman).

Jika si perantau berhasil, biasanya saudara atau teman sekampung akan datang menyusul. Dan, si perantau yang sukses wajib membantu. Itu sebabnya, orang Batak di perantauan terbiasa menampung pendatang Batak di rumahnya. ”Saudara saya dan istri begitu datang ke Jakarta semua tinggal dulu di rumah saya. Setelah mereka mapan, mereka bisa membangun rumah sendiri di tempat lain,” ujar G Marpaung.

Ke Jakarta

Dengan cara itu, orang Batak di perantauan cepat berkembang. Lance Castle dalam The Ethnic Profile of Djakarta menyebutkan, orang Batak pertama kali merantau ke Jakarta tahun 1907. Jejak perantau pertama di Jakarta berupa kebaktian berbahasa Batak pada 20 September 1919. Mereka lalu membangun Gereja HKBP Kernolong Resort Jakarta yang tercatat sebagai gereja Batak tertua di Jakarta.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com