Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Posisi Rentan Anak Perempuan

Kompas.com - 08/02/2013, 03:05 WIB

Tindak kekerasan seksual terhadap anak tak bisa dipisahkan dari posisi rentan perempuan dan anak perempuan. Dalam hierarki dehumanisasi, anak, apalagi perempuan, miskin, dari etnis minoritas dan cacat, berada pada posisi terendah. Mereka mengalami penindasan berlapis.

”Proses peradilan selalu meminta bukti dan saksi pemerkosaan,” ujar pakar psikologi anak, Irwanto. ”Bagaimana kalau yang diperkosa tak bisa melihat? Dia mungkin bisa mendengar, bisa menengarai bau, tetapi tidak memenuhi syarat bukti. Bukannya semakin banyak terjadi pemerkosaan pada orang cacat?”

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menghubungkan antara posisi rentan perempuan dan anak perempuan dengan komentar para pejabat dan politisi yang tidak pantas tentang pemerkosaan. ”Peraturan di Lhokseumawe tentang cara perempuan membonceng motor juga terkait pandangan bahwa perempuan yang mengundang terjadinya pemerkosaan,” ujarnya.

Ancaman kekerasan seksual terhadap anak selalu dimungkinkan selama posisi perempuan dan anak perempuan masih berada pada posisi subordinasi sehingga terjadi relasi- relasi kuasa yang timpang. Apalagi ditambah konsep kepemilikan dan superioritas dalam keluarga; suami terhadap istri, orangtua terhadap anak, kakak dan adik laki-laki terhadap adik dan kakak perempuannya.

Tubuh, wilayah kuasa

Ilmuwan feminis, penulis, dan aktivis, Soe Tjen Marching, berkali-kali mengingatkan bahwa tubuh adalah wilayah penting kekuasaan. Kalau manusia dikuasai tubuhnya, mereka dengan mudah disetir. Itu sebabnya pemerintah otoriter selalu menguasai tubuh (baca: seksualitas) warganya. Berbagai peraturan yang menyasar soal tubuh (perempuan) juga bisa dibaca sebagai upaya mengatur dan menaklukkan kebebasan berpikir.

Kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, bukanlah isu seks, melainkan kekuasaan. Dalam kekerasan seksual jelas ada pemaksaan dan dominasi, dengan satu pihak menikmati penderitaan yang lain. Kalau isu tersebut tidak dianggap ”besar”, menurut Soe Tjen, itu karena sebagian besar korbannya adalah perempuan dan perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua. (MH/FIT)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com