Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pak Jokowi, Tegas Sajalah soal MRT

Kompas.com - 21/02/2013, 07:19 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Langkah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, membentuk tim kajian sebelum memutuskan keberlanjutan megaproyek transportasi massal berbasis rel, mass rapid transit (MRT), dianggap sebagai langkah yang salah. Langkah itu justru kembali hanya menunda pembangunan proyek MRT dan menciptakan rangkaian public hearing lanjutan. Gubernur diminta segera tegas mengambil keputusan.

"Sebetulnya, apa lagi yang kurang dan mesti dikaji? Kesannya rapat-rapat terus, tapi belum ada hasilnya. Makin ditunda, masalah semakin besar," kata  pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, di Jakarta, Kamis (21/2/2013). Dia pun berpendapat pembentukan tim ini juga hanya akan diikuti beragam pertanyaan, seperti soal tenggat waktu penyelesaian kajian dan siapa saja anggota tim tersebut. Akan jadi pertanyaan pula, apakah tim itu juga punya kewenangan untuk mempertegas kebijakan Gubernur DKI Jakarta terkait proyek MRT.

"Posisi kepala daerah di sini sangat krusial untuk memutuskan program ini jadi dijalankan atau tidak. Siapa yang beri garansi Gubernur dapat mengambil keputusan yang tepat. Apakah kajian-kajian sebelumnya tidak bisa meyakinkan? Kalau pertanyaannya masih soal tarif yang membebani APBD, kan ini pertanyaan yang diulang terus," jelas Yayat. Terlebih pihak Japan International Cooperation Agency (JICA) juga sudah berulang kali datang ke Jakarta untuk mempertanyakan kapan ground breaking MRT dilakukan.

Inkonsistensi

Langkah Gubernur DKI Jakarta membentuk tim kajian MRT ini adalah sebagai upaya agar megaproyek MRT yang memakan biaya Rp 15 triliun memberikan dampak positif sebanding, bukan malah merugikan masyarakat. Tim kajian itu berada dalam internal PT MRT Jakarta, tetapi di dalamnya Jokowi menghadirkan keterlebitan masyarakat. Tujuannya, kajian bisa merumuskan tim yang akurat dan berimbang.

Warga yang menamakan diri sebagai Masyarakat Peduli MRT merasa keberatan dengan jalur layang dari Lebak Bulus sampai Sisingamangaraja. Mereka beralasan, jalan layang akan mengganggu secara sosial dan lingkungan serta berdampak pada roda perekonomian mereka.

Keputusan Jokowi untuk membentuk tim kajian itu bertolak belakang saat beberapa waktu lalu ia juga diminta untuk membentuk tim kajian serupa untuk MRT. Menurut Jokowi, MRT sudah terlalu lama dikaji dan hanya tinggal dieksekusi dan dijalankan proyeknya. "Ya enggaklah, itu kelamaan. MRT itu sudah mulai dari tahun berapa, sudah bertahun-tahun. Dulunya kan juga sudah dikaji lagi, ini kita tinggal memberikan penjelasan, bukan dikaji lagi. Tinggal memberikan penjelasan, eksekusi, kemudian putuskan," kata Jokowi, Selasa (20/11/2012).

"Public hearing" sebagai pintu kebijakan

Yayat Supriatna mengimbau agar public hearing yang digunakan Jokowi sebagai jurus andalannya mengambil keputusan harus benar-benar dimaksimalkan. Sebagai seorang kepala daerah, menurut Yayat, Jokowi harus dapat mengambil keputusan terbaik dan berani mengambil risiko dari keputusan yang diambil.

"Jadikan public hearing sebagai sebuah pintu jawaban. Risiko keputusan Gubernur juga harus bisa diambil," kata Yayat.  Menurut dia, pada akhirnya masyarakat akan menerima MRT karena yang dibutuhkan warga Jakarta sekarang adalah alternatif transportasi massal untuk menghindari kemacetan lalu lintas Ibu Kota.

"MRT itu ibaratnya pil penyelamat Jakarta di masa depan. Gubernur mengambil keputusan pahit, tapi suatu saat nanti berfungsi sebagai penyembuh. MRT ini sebagai kekuatan Jakarta untuk memiliki daya saing dengan kota lainnya," kata Yayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com