Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Manajemen Transportasi Publik Ibu Kota

Kompas.com - 26/02/2013, 02:04 WIB

Oleh Andi Ilham Said

Sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menegaskan akan menerapkan konsep integrasi moda seperti MRT, monorel, transjakarta, dan angkutan umum untuk mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta (Kompas, 15/10/2012).

Hingga saat ini, sebagai Gubernur DKI periode 2012-2017, Jokowi belum juga merinci bagaimana implementasi kebijakan tersebut. Kita hanya baca di sejumlah media hal-hal berikut: jumlah bus transjakarta telah ditambah, bus reguler akan diremajakan dengan pola hibah, dan proyek mass rapid transit (MRT) masih tarik-ulur dengan pemerintah pusat soal porsi pembiayaan. Terkait upaya mengatasi kemacetan, Jokowi pernah mengemukakan soal pembuatan marka jalan yang katanya dapat mengurangi kemacetan hingga 30 persen (entah bagaimana menghitungnya) dan ide kebijakan genap-ganjil pelat nomor polisi kendaraan.

Gubernur-gubernur DKI sebelum Jokowi menyadari cara mengatasi kemacetan lalu lintas adalah menurunkan tingkat utilitas kendaraan pribadi. Karena transportasi merupakan kebutuhan vital, penurunan utilitas kendaraan pribadi hanya dapat dilakukan jika tersedia sarana transportasi publik yang nyaman dan andal. Masalahnya, hingga kini, Jakarta belum memiliki ini.

Pembangunan sistem transportasi publik merupakan program setiap gubernur sebelum Jokowi. Namun, hasilnya, hingga saat ini sistem transportasi publik Jakarta tetap tak andal, tak nyaman, semrawut, bahkan kadang berbahaya. Pada beberapa kasus, kendaraan umum jadi arena pencopetan, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Pembangunan sistem transportasi publik DKI seolah jadi program yang tak pernah rampung.

Berdiri sendiri

Untuk menyelesaikan kesemrawutan sistem transportasi publik, Pemerintah Provinsi DKI sebelum Jokowi menganut paradigma membangun sarana baru. Mungkin karena tak dapat mengandalkan bus-bus konvensional yang beroperasi selama ini, Sutiyoso membangun sistem transjakarta. Menuai banyak kritik di awal pembangunan, transjakarta akhirnya dapat diterima masyarakat pengguna angkutan umum. Boleh jadi itu sebabnya transjakarta dilanjutkan gubernur setelahnya. Bahkan Jokowi pernah melontarkan ide metromini dan kopaja juga ikut masuk jalur transjakarta.

Sayang sekali transjakarta belum berhasil menyelesaikan soal ketidakandalan sistem transportasi publik, apalagi jadi faktor pengurai kemacetan lalu lintas. Bahkan, seperti bus konvensional, pelayanannya tidak semakin bagus. Bus-busnya, terutama di Koridor I, makin tua dan tak segera diganti. Pintu beberapa bus tak dapat ditutup rapat sehingga udara panas dari luar menyergap masuk mengalahkan sejuk udara AC bus.

Hal serupa terjadi pada moda transportasi berbasis rel. Jokowi hingga kini belum memutuskan nasib proyek pembangunan MRT. Seperti halnya bus konvensional, pemerintah akan membangun sistem baru dengan mendirikan badan usaha sendiri untuk MRT. Kita tak tahu apakah kelak—jika berhasil dibangun—MRT akan terintegrasi dengan kereta rel listrik (KRL) yang dikelola anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Kita juga tak tahu, misalnya, apakah stasiun MRT di Dukuh Atas akan nyambung dengan Stasiun KRL Sudirman.

Idealnya, pembangunan MRT diserahkan kepada PT KAI. Dana pembangunannya—seperti di negara lain—disiapkan pemerintah, baik Pemprov DKI maupun pemerintah pusat. Penempatan dana bisa sebagai penyertaan pemerintah kepada KAI atau dalam bentuk utang. KAI menerbitkan obligasi berbunga murah yang lalu dibeli pemerintah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com