Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan Warga Tinggal di Waduk Pluit, Pak Jokowi...

Kompas.com - 05/03/2013, 14:29 WIB
Imanuel More

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Warga yang menduduki lahan di sekitar Waduk Pluit, Penjaringan, umumnya sadar bahwa lahan tersebut milik pemerintah. Pilihan menduduki lahan yang sebenarnya diperuntukkan bagi penanggulangan banjir diambil lantaran keterbatasan ekonomi.

"Saya hanya kuli. Gaji saya terlalu kecil untuk beli tanah, apalagi rumah di Jakarta," terang Syamsul, warga RT 16 RW 17, Penjaringan, Jakarta Utara, saat ditemui Kompas.com, Selasa (5/3/2013).

Syamsul menjelaskan, pendapatannya sebagai buruh di Pelabuhan Muara Baru tidak memberikan opsi baginya untuk memiliki fasilitas rumah yang layak dan sesuai prosedur hukum. Sempat beberapa kali mengontrak di sekitar kawasan Muara Baru, pria asal Sulawesi Selatan ini akhirnya memutuskan untuk membeli salah satu pondokan yang berdiri di atas lahan waduk.

"Kalau terus-terusan ngontrak, pasti enggak bisa nabung buat sekolah anak," ujar Syamsul.

Seiring bertambahnya anggota keluarga, ia lantas memperpanjang huniannya semakin menjorok ke dalam waduk. Bangunan itu ditopang dengan tiang-tiang bambu yang berdiri di atas air waduk. Berbagai bahan dari bambu, papan, tripleks, dipasang sebagai alas titian.

"Saya perpanjang untuk toilet dan jemuran," imbuh Syamsul.

Lenny (29), bukan nama sebenarnya, adalah seorang pekerja malam di salah satu tempat hiburan sederhana di kawasan Tanjung Priok. Pengontrak di RT 16 RW 17, sisi Timur Waduk Pluit, ini mengaku sudah mengetahui status lahan di lokasi tersebut. Namun, ia tetap memilih menetap di Waduk Pluit karena murahnya sewa kontrakan.

"Rp 150.000 sebulan, MCK-nya di toilet umum di depan," terang Lenny.

Lenny mengungkapkan, pendapatan bulanannya tidak pasti, tergantung kemurahan berupa tip dari pengunjung kafe. Sementara gaji yang diterima dari pengelola kafe di bawah UMR DKI Jakarta. Uang yang diperoleh masih harus dibagi untuk membiayai hidupnya di Jakarta dan dua anaknya di Bumiayu, Jawa Tengah.

"Ojek pulang-pergi udah habis berapa? Belum lagi harus ngirim ke kampung, dua anak saya tinggal sama ibu di Bumiayu," terang Lenny.

Alasan yang tak berbeda jauh dikemukakan warga Kebon Tebu, di sisi Barat Laut Waduk Pluit. Wastapudin (25), warga RT 20 RW 17, Penjaringan, juga memilih bertindak melawan hukum karena keterbatasan ekonomi.

Sebagai petugas kebersihan di kompleks perumahan mewah Pantai Mutiara, Pluit, ia hanya mendapat gaji harian sebesar Rp 28.500. Jika bekerja penuh tujuh hari sepekan, ia baru bisa membawa pulang Rp 790.000 per bulan.

"Gaji segitu mana cukup buat punya rumah di Jakarta, mimpi kali ya," kata Wastapudin.

Ia mengaku harus lebih sering bekerja lembur demi meningkatkan pendapatan hariannya. Bila bekerja lembur, dia akan diupah Rp 45.000 per hari.

Meski menambah waktu kerja, pendapatan hariannya hanya sedikit di atas Rp 1 juta. Tak heran bila pemuda yang mengaku sudah menjadi pekerja kebersihan sejak berusia 16 tahun ini belum memiliki simpanan yang cukup untuk membeli rumah paling sederhana di Jakarta.

"Dulu saya ini petugas kebersihan DKI juga, tugas saya di Kamal, dekat Pantai Indah Kapuk. Tiap hari jalan kaki dari sini jam empat pagi, pulang juga begitu. Akhirnya, saya berhenti karena kecapekan," tutur Wastapudin.

Saripah (35), warga Kebon Tebu lainnya, menjelaskan, warga RT 20 umumnya berprofesi sebagai petugas kebersihan. Ada yang bekerja untuk pemerintah, ada juga yang bekerja di permukiman mewah sekitar, atau sebagai petugas cleaning service mal dan perkantoran di kawasan Pluit. Umumnya mereka memiliki pendapatan jauh di bawah standar hidup layak di Jakarta.

"Saya dibayar Rp 40.000 per hari. Tugas saya di Muara Karang arah PLTU," kata wanita yang sudah 14 tahun bekerja sebagai petugas kebersihan DKI itu.

Saripah dan lainnya mengaku pasrah bila direlokasi pemerintah karena sadar bahwa lahan yang telah diduduki bukan milik mereka. Mereka berharap bisa disediakan hunian murah sesuai dengan pendapatan dari pekerjaan mereka yang tidak seberapa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com