Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Subsidi KRL Masih Dibutuhkan

Kompas.com - 27/03/2013, 03:58 WIB

Jakarta, KOMPAS - Pengguna harian kereta rel listrik ekonomi bersubsidi akan kesulitan menyesuaikan tarif KRL commuter line nonsubsidi bila operasional kereta bersubsidi itu dihentikan. Bagi sebagian pengguna KRL ekonomi, tarif KRL nonsubsidi dan transportasi lain akan menghabiskan sekitar 30 persen dari gaji mereka.

Bambang Sutisno (51), warga Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/3), mengatakan, setiap hari menggunakan KRL ekonomi dari Stasiun Besar Bogor menuju Stasiun Tanjung Barat, Jakarta. Dia berharap KRL ekonomi Bogor-Jakarta tetap dipertahankan.

”Kalau benar dihapus artinya menyusahkan orang kecil seperti saya. Kalau saya harus menggunakan KRL commuter line setiap hari pergi-pulang, bisa habis gaji saya,” kata Bambang yang bekerja sebagai sopir di salah satu perusahaan perkapalan yang berkantor di Kuningan, Jakarta.

Jika harus menggunakan commuter line berbiaya Rp 9.000 sekali jalan, dia bakal mengeluarkan uang Rp 720.000 per bulan atau lebih dari 30 persen dari upah yang diterimanya.

Andi (22), warga Bogor Barat yang bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta Selatan, mengaku keberatan jika tak lagi ada KRL ekonomi. Dia mengaku hanya mendapat upah kotor Rp 50.000 per hari. Karena itu, jika KRL ekonomi dihapus, dia mengaku akan memilih mengurangi frekuensi pulang ke Bogor dan menginap di bedeng pekerja.

Sebaliknya, Agus Imansyah, pengguna KRL commuter line Bogor-Jakarta, berpendapat, KRL ekonomi yang beroperasi saat ini tak layak lagi, terutama dari aspek keselamatan.

”Saya mendukung pemberlakuan satu kelas KRL. Namun, penumpang yang tidak mampu harus dihitung dan diberi subsidi. Subsidi ini harus bisa diverifikasi sehingga tepat sasaran untuk warga yang tidak mampu,” katanya.

Peneliti perkeretaapian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Hidayat, mengatakan, ada dua kelas konsumen kereta, yakni konsumen yang sensitif terhadap harga dan konsumen yang sensitif pelayanan.

”Bagi penumpang yang sensitif harga, mereka tidak peduli bila pelayanan kereta seadanya asalkan harga tiket murah. Untuk penumpang yang sensitif pelayanan, harga tiket bukan persoalan asalkan pelayanan yang diberikan aman, nyaman, dan tepat waktu,” ucapnya.

Selain dua kebutuhan itu, ada juga kebutuhan PT Kereta Api Indonesia yang ditugaskan mencari laba. Berbagai kepentingan ini, menurut dia, berpotensi menimbulkan konflik. ”Konflik bisa diredam bila pemerintah selaku regulator bisa mengambil peran yang kuat dan tegas dalam mengambil keputusan,” ucapnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com