Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan Duka atas Wafatnya Sahabat Saya, Abun Sanda

Kompas.com - 05/04/2013, 08:35 WIB

oleh Arya Gunawan Usis

Dari tempat saya yang jauh di Tehran, saya turut menyampaikan dukacita amat mendalam atas kepergian Abun Sanda, sahabat saya sepanjang lebih dari seperempat abad terakhir. Abun wafat karena serangan jantung,  di Jakarta, Kamis petang, 4 April, sekitar pukul 17.05 WIB, saat sedang bertugas di kantornya, gedung Kompas di kawasan Palmerah Selatan.

Saya menerima kabar duka ini dari adik saya (yang juga pernah bekerja di Kompas, dan mengenal almarhum), beberapa menit setelah Abun melepaskan napas terakhirnya, di poliklinik Kompas yang terletak di seberang gedung Kompas. 

Saya sangat terperanjat menerima berita ini. Namun kemudian menghela napas panjang sambil menguatkan hati dan bersandar pada keikhlasan. Semua kita memang pasti akan tiba pada ujung yang sama, hanya urusan waktu, tempat dan cara saja yang membedakannya.  Abun adalah salah seorang sahabat terdekat saya semasa saya bekerja di Kompas (mulai 1987 hingga tahun 1995 silam), dan pada periode sesudahnya kendati kami sudah tak sekantor lagi.

Saya masuk melalui Kompas Biro Jawa Barat (yang dikomandani oleh wartawan kawakan Her Suganda, guru awal saya di bidang jurnalistik), dengan kantor di Bandung. Abun memulai ikatan dengan Kompas sebagai koresponden untuk wilayah Sulawesi Selatan, yang berkantor di Makassar (yang dipimpin oleh Fahmy Myala, juga salah seorang wartawan tangguh yang pernah dimiliki Kompas). Tahun masuk kami sama, 1987.  

Sekitar dua pekan lalu saya masih sempat bertukar SMS dengan Abun. Semua tampak baik-baik saja. Namun memang tak ada yang pernah tahu, bahkan tak ada yang pernah bisa menerka, kapan sang maut datang memagut. Sekarang Abun telah pergi, menyusul istrinya Anita, yang wafat di bulan Maret 2009.

Saya masih ingat betapa dalam duka Abun saat kehilangan istrinya, sebagaimana yang saya rasakan langsung saat dia mendekap saya dengan sangat erat, begitu melihat saya di antara para tetamu yang hadir di ruang duka rumah sakit Dharmais, saat akan melepas jenazah Anita. Belakangan dia bilang bahwa dia meratap sesunggukan di bahu saya, karena saya adalah salah satu dari tiga orang yang tahu dari awal riwayat pertemuan dan percintaannya dengan Anita. Salah seorang lainnya dari tiga orang ini adalah Budiman Tanuredjo, yang kini menjadi petinggi di jajaran redaksi Kompas.

Mei tahun lalu, Abun sempat berkunjung ke rumah saya di Depok, menghabiskan waktu di penggal pagi itu, berbincang santai tentang berbagai hal. Sesekali Abun melepas tawanya yang selalu menggelegar. Saat itu dia juga membeberkan rencananya untuk berkunjung ke London (Abun sudah menginjakkan kaki ke berbagai metropolis dunia, terutama dalam kaitan tugasnya sebagai wartawan. Hanya sedikit saja kota besar yang belum pernah dia jejaki, dan London adalah salah satu dari daftar pendek itu).

Dia banyak bertanya tentang London, karena saya memang sempat menjadi mukimin selama hampir enam tahun di sana, saat saya telah hijrah dari Kompas di tahun 1995 dan melanjutkan karir jurnalistik sebagai wartawan BBC di London. Kami berjanji akan berjumpa di sana, di akhir Mei . Namun ternyata rencana ini tak terwujud, karena visa kunjungannya ke Inggris baru beres diproses agak terlambat dari tanggal yang sudah direncanakan semula. Abun akhirnya memang singgah ke London, namun saya setelah saya meninggalkan kota itu beberapa hari sebelumnya.  

Saya terkenang kembali masa-masa kami di Kompas. Saya pernah berbulan-bulan tinggal satu kamar dengannya di mess Kompas di Jalan Tanjung (di belakang kantor Kompas). Sesekali saya terjaga juga oleh suara dengkurnya yang sama menggelegarnya dengan tawanya.

Saya mengikuti pendidikan internal dalam angkatan yang sama dengan Abun (juga bersama Taufik Ikram Jamil, sastrawan asal Riau yang sudah meninggalkan Kompas beberapa tahun lalu dan kini bermukim di Pekanbaru), digembleng berbulan-bulan di Mess Anggrek (tempat pendidikan wartawan Kompas, berlokasi di Jalan Anggrek, tak jauh dari mesjid Kompas di Pasar Palmerah), melakukan liputan bersama dalam berbagai kesempatan, terutama liputan-liputan untuk berita metropolitan (saya sering dibonceng Abun dengan vespanya, menelusuri berbagai pojok Jakarta). 

Abun adalah wartawan yang tangguh, nyaris tak pernah menyerah, tak mau patah semangat kendati dalam beberapa kesempatan saya tahu persis bahwa dia mengalami penat yang sangat, terutama jika harus berjalan kaki untuk jarak yang panjang, karena memang tak ringan bagi dia untuk membawa tubuhnya yang terbilang tambun.

Salah satu momen yang saya ingat adalah saat kami melakukan liputan bersama di pelosok pulau Batam, di bulan Oktober 1988 - sudah hampir seperempat abad silam. Kami berjalan kaki, dan saya agak di depan. Beberapa saat kemudian baru saya sadar bahwa tak ada lagi suara langkah kaki di dekat saya, dan saya lihat Abun tertinggal cukup jauh di belakang dengan napas yang agak bergegas. Namun hanya berselang beberapa menit kemudian, kepalanya tegak kembali dan semangatnya tak patah. kami berhasil merampungkan pencarian bahan liputan di hari itu. 

Selain ihwal semangatnya, yang juga saya kagumi dari Abun adalah kesediaannya untuk meliput peristiwa apa pun. Tak ada urusan pilih-pilih. baik itu untuk liputan yang sifatnya prakarsa sendiri, ataupun yang ditugaskan oleh kantor.

"Yang penting berkarya," begitu mottonya. Abun juga termasuk penulis-cepat. Dulu kami sering main adu-cepat dalam menyelesaikan tulisan, baik tulisan berita ringkas, maupun feature yang panjang. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com