Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

50 Tahun Lalu, Waduk Pluit Jernih

Kompas.com - 22/05/2013, 08:55 WIB
Megandika Wilibrordus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sore itu, Achmar (65), warga RT 16/RW 17 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Muara Baru menyelempangkan handuk merahnya dan bersiap untuk mandi. Ia sedang menyiapkan air bersih dari jeriken untuk dituangkan ke dalam bak mandinya.

Pria yang sudah 55 tahun tinggal di timur waduk Pluit itu adalah salah seorang pendatang pertama yang menempati daerah yang dulu disebut Kebun Tebu. Kawasan itu, katanya, pada 1958 ketika ia datang masih berupa kebun-kebun tebu. Selain kebun tebu, di pinggiran waduk pluit juga terdapat kebun tomat, kebun randu, dan kebun pisang.

Ia juga berkisah, udara saat itu masih bersih dan sejuk karena banyak ditumbuhi pepohonan. "Air waduk juga sangat jernih dan banyak ikannya seperti mujair, lele, dan gabus. Namun, kini sudah tidak ada lagi," kata pria asal Cirebon, Selasa (21/5/2013).

Kakek dari lima cucu itu mengatakan, keadaan menjadi sangat berubah menjelang akhir 1989. "Penduduk mulai banyak yang datang dan timbullah pemukiman-pemukiman penduduk di sini. Selain itu, air sungai dari Jakarta lebih banyak tercemar limbah pabrik dan warnanya hitam," ujar Achmar yang kini membuka usaha warung makan.

Hal senada juga dikatakan M Sidik (64). Pria asal Bima, NTB itu mengatakan, pada 1986 udara masih sejuk karena banyak pepohonan. "Dulu segar dan masih banyak burung yang berkicauan," kata Sidik.

Achmar juga menceritakan bagaimana ia dapat menempati tanah seluas 40x40 meter persegi di tepi waduk Pluit itu. "Pada 1958 itu, saya membayar semacam ganti rugi sebesar Rp 75.000 kepada seorang pemilik kebun tebu di sini. Saya lupa namanya, tapi ia adalah orang Ciasem, Subang, Jawa Barat," kata Achmar.

Pembayaran itu, kata Achmar, tidak disertai surat-surat. Bahkan, sampai saat ini pun Achmar tidak pernah memiliki dan menyimpan surat apapun berkaitan dengan tanah itu. "Saya tidak punya akta tanah dan juga tidak pernah membayar pajak bumi bangunan," ujarnya.

M Sidik mengalami hal serupa. Bapak tiga anak yang tinggal di RT 16/RW 17 itu juga membeli tanah kepada seorang penggarap kebun yang berasal dari Cirebon. "Saya tidak tahu namannya, tapi saya membayar (ngebon) Rp 70.000 untuk tanah seukuran 10 x 5 meter persegi pada 1986," ujar Sidik yang dulu bekerja sebagai penjual nasi goreng.

Sidik juga mengatakan, selama ini tidak pernah ada uang sewa ataupun pembayaran pajak bumi bangunan.

Ketika ditanya kesiapannya untuk menerima dampak normalisasi waduk Pluit, yaitu relokasi, Achmar dan Sidik menyatakan siap pulang kampung. "Bila harus pindah, kemungkinan saya akan pulang ke Cirebon. Namun, saya berharap ada uang saku untuk pulang ke sana dan untuk usaha baru," ucap Achmar.

Achmar mengakui keberadaan warga yang sangat padat di sekitar Waduk Pluit menjadi salah satu penyebab banjir besar Januari lalu. "Sekarang jadi banyak sampah dan airnya hitam pekat. Saat banjir kemarin, rumah ini terendam hingga 1,8 meter. Saya rela untuk pindah dan tidak ingin berdebat siapakah pemilik tanah ini. Yang penting ada komunikasi yang baik antara pemerintah dan warga," katanya.

"Saya tidak punya surat resmi seperti sertifikat ataupun akta tanah. Karenanya, jika diminta pindah, saya akan pulang kampung," kata Sidik. Sidik mengatakan, saat ini cukup sulit mendapatkan air bersih di tempat itu. "Dulu saya punya sumur yang bersih, kini telah keruh dan ditimbun serta didirikan bangunan rumah oleh tetangga. Karenanya, saya sambil berjualan air bersih dengan jeriken yang dijual Rp 1.000 per jeriken," katanya.

Bila harus relokasi, Sidik tidak mau pindah ke rumah susun. "Saya akan lebih memilih pulang ke kampung halaman istri di Kuningan. Kalau pindah di rumah susun yang setiap bulan harus membayar uang sewa, saya sudah tidak punya penghasilan tetap," ucap Sidik yang tinggal dengan anak bungsunya.

Baik Achmar maupun Sidik adalah orang-orang pertama yang datang ke tempat itu. Mereka sama-sama berjuang dari awal membangun tempat itu. Mereka juga pernah menikmati sejuk dan indahnya kawasan waduk Pluit. Namun, kini zaman dan keadaan telah berubah, demikian juga dengan kondisi waduk Pluit yang dipenuhi sampah. Air bersih untuk mandi pun sulit didapatkan.

Melihat keadaan itu dan juga kesadaran atas kepemilikan sah tanah itu, mereka berdua bersedia untuk dipindah meninggalkan waduk Pluit asalkan ada komunikasi yang baik antara warga dengan pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com