Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/07/2013, 13:48 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Bunyi bedug yang ditabuh barangkali menjadi salah satu suara yang paling ditunggu oleh umat Islam ketika senja menjelang pada setiap bulan Ramadhan. Ketika bunyi bedug berkumandang, entah di televisi maupun di masjid serta mushala, saat itulah kaum Muslim mengakhiri puasanya hari itu dengan minum dan makan.

Seperti pasangan Juha dan Kokom serta Nekara, anak semata wayang mereka. Anak beranak itu boleh saja sibuk dengan kegiatannya masing-masing menjelang buka puasa. Juha asyik di depan komputer, Kokom di dapur, dan Nekara di depan televisi, tetapi ketika bedug berkumandang, mereka bersatu di meja makan untuk berbuka puasa bersama.

Ada senyum kemenangan di wajah mereka karena seharian telah menaklukkan nafsu mereka untuk makan, minum, dan bersebadan bagi Juha dan Kokom, serta nafsu-nafsu yang bisa mengurangi ibadah puasa mereka. Dan lihatlah, bibir mereka berucap syukur lantaran di meja ada hidangan yang bisa memberi tenaga untuk nanti mengerjakan shalat tarawih dan kegiatan lainnya.

Diawali dengan bunyi tek tek tek dari suara beradunya pemukul kayu dengan tubuh bedug, lalu... dug dug dug... bunyi beduk, suara azan, berdoa, dan... ah.... segaaaar... Rasanya tiada yang lebih indah dari saat buka puasa. Dunia terasa tambah terang benderang dan tubuh kembali segar.

Tak dapat dimungkiri, beduk memang identik dengan tradisi Islam sebagai pertanda waktu masuk shalat. Agama lain tentu memiliki tanda bunyi lainnya sebagai alat pengundang. Umat Kristiani, misalnya, memilih lonceng sebagai pertanda dimulainya peribadatan di gereja.

M Habib Mustopo dalam disertasinya pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta yang berjudul "Kebudayaan Islam Masa Peralihan di Jawa Timur pada Abad XV-XVI Kajian Beberapa Unsur Budaya" mengungkap, dalam konteks Budaya Timur kekinian, instrumen musik (waditra) beduk cenderung dikaitkan dengan tradisi budaya Islam. Jika pandangan ini ditarik ke dalam lingkup yang lebih mikro, semisal pada budaya Jawa, keberadaan beduk jawa dikaitkan dengan Islamisasi Jawa, yang mulai intensif dilakukan pada Era Kewalian pada sekitar abad XV-XVI Masehi.

Itu artinya, bahwa sebelum abad itu, yakni pada Masa Hindu-Buddha (abad V-XVI Masehi), terlebih lagi pada masa Prasejarah, beduk belum bercokol di Jawa. Kalaupun pada akhir masa Hindu-Buddha (abad XV-XVI Masehi) sudah mulai muncul waditra beduk, jumlahnya masih terbatas dan persebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa bedug baru ada di Pulau Jawa pada masa pIslam perlu dikritisi guna menemukan kesejarahannya.

Bedug lebih dikenal sebagai instrumen membraphone, yakni waditra yang sumber bunyinya berasal dari getaran selaput yang diregang (Kunst,1968:9-82). Dalam kelompok ini, bedug diidentifikasikan sebagai waditra sejenis genderang berukuran besar dan bersisi ganda. Sebagaimana waditra membraphone lainnya, beduk terdiri atas dua bagian utama, yaitu selaput getar dan resonator. Istilah beduk adalah onomatophae, yakni nama yang diberikan kepada suatu waditra menurut bunyi yang dihasilkan manakala waditra tersebut ditabuh, yang menghasilkan bunyi “dug-dug”.

Alat serupa bedug juga dikenal di belahan bumi lainnya seperti di China, India, Korea dan Jepang. Di Jepang, beduk dikenal sebagai Taiko Drum, yang juga merupakan sebuah unsur dari kesenian yang dikenal sebagai Kodo. Meski berbeda penyebutan dan penamaannya, rata-rata fungsi knyaris sama, yakni sebagai pertanda dimulainya kegiatan ritual, kegiatan sosial, maupun sebagai pelengkap dalam permainan musik.

Tentu saja, sebagai sebuah instrumen perkusi, penabuhan bedug juga berkembang. Beduk tak cuma dipukul dengan alat bernama mallet pada membrannya yang terbuat dari kulit binatang, melainkan tubuh beduk juga dieksplorasi sedemikian rupa, seperti pada saat menjelang buka puasa itu. Tek tek tek, baru kemudian membran dipukul: dug dug dug. Itulah sebabnya, beduk bukan cuma instrumen membranophone, melainkan juga idiophone karena batang tubuhnya juga bisa dimainkan. Instrumen serupa beduk juga bisa ditemui di beberapa daerah di Indonesia, misalnya di Nias, Mandailing, dan Minangkabau.

"Bedug juga alat musik juga ya Pah?" tanya Nekara kepada Juha.
"Iya, meski sifatnya perkusif (dipukul) dan tala nada yang dihasilkan tidak sejelas instrumen seruling, gitar atau piano, tapi beduk juga memiliki warna bunyi atau timbre yang cenderung tumpul. Dia berada pada wilayah frekuensi bas, itulah sebabnya dia berfungsi sebagai drona, yakni tekanan pemberat pada pola irama."
"Neranginnya yang lebih simpel dong," protes Nek.
"Simpelnya, beduk itu sebagai muara dari pola irama. Seperti gong dalam gamelan. Dia menjadi penyempurna dari sebuah perjalanan nada."
"O...."
"Mudeng nggak?"
"Ya gitu deh... he he he.."
"Bedug itu bisa menjadi awal, sekaligus akhir dari sebuah peristiwa. Entah itu peristiwa keagamaan, peristiwa sosial, maupun peristiwa musik. Karena suaranya yang berat, dia hanya boleh dimainkan di awal dan di belakang, nggak boleh di tengah. Bisa kacau nanti pertunjukan musiknya."
"Iya juga ya, pas kita akan shalat Idul Fitri, biasanya diawali beduk untuk mengundang orang-orang shalat. Pas khotbah dan shalat beduk diam, tapi setelah itu beduk bunyi lagi."
"Pinter anak papa."

Selanjutnya, kepada Nek dan Kokom, Juha bercerita mengenai beduk lebih jauh. Karena fungsinya sebagai yang awal dan yang akhir, filosofi beduk itu digambarkan sebagai suara ilahiah. Itulah sebabnya, saat beduk dipukul, suaranya menjadi semacam panggilan dari Sang Pemilik Semesta kepada manusia untuk berkumpul.

"Jadi, bedug itu instrumen musik kiriman dari Tuhan ya Pa?" tanya Nek.
"He he he, semua alat musik ide awalnya ya dari-Nya."
"Trus yang membikin pertama kali siapa?"
"Papa nggak tahu persisnya, tapi yang terang beduk sudah ada ribuan tahun lalu."
"Yang bikin orang Indonesia juga?"
"Yang bikin siapa saja dan di beberapa daerah. Tapi, bedug di Indonesia ini tercatat dalam 'D’eeste Boek' karya Cornelis de Houtman (1595-1597), sebuah catatan pelayaran bangsa Belanda yang pertama ke Indonesia. Houtman mengatakan, pada abad XVI, yang pasti waditra yang disebut dengan “bedug (beduk)” telah terdapat di Jawa."
"Wah, makin menarik. Trus pah, trus gimana ceritanya...?"

Juha pun bersemangat menjawab pertanyaan putranya itu. Menurut Houtman, bedug merupakan instrumen yang populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan menggunakan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam (Lodewijckz, 1915: 238). Dalam susastra Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, bunyi waditra yang dimaknai sebagai petanda waktu itu disebut dengan “tabuh (tabeh)” (Zoetmulder, 1982:1892).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com