Sebuah radio tua menemani aktivitasnya beres-beres. "Ya, pendengar... Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan bekerjasama dengan Polri untuk menindak pemudik motor yang melebihi kapasitas. Hal itu dilakukan untuk menghindari pemudik dari kecelakaan. Data menununjukan angka kecelakaan...."
"Halah, model begitu mah lagu lama Dishub DKI, cerita lama. Dari dulu sudah gitu. Emang ngapain sih, namanya orang pengen mudik," gerutunya mengomentari laporan repoter radio tersebut.
Maklum saja Slamet menggerutu. 30 Tahun sudah ia merantau di Jakarta, dan hampir setiap tahun dia dan keluarga pulang kampung menggunakan motor. 10 Tahun terakhir ia mudik bersama istri dan satu orang anaknya dengan berbagai barang bawaan oleh-oleh bagi sanak saudara di Tegal.
Kepada Kompas.com, Slamet mngatakan bahwa pemerintah pada dasarnya tak memiliki hak untuk melarang masyarakat untuk mudik menggunakan kendaraan roda dua. Dishub DKI, kata Slamet, ibarat melarang buang sampah sembarangan tapi tidak sekaligus memberikan tempat sampahnya. Setidaknya, ada empat hal yang membuatnya tetap memilih sepeda motor untuk pulang kampung.
"Kan motornya di kampung dibutuhin juga. Entah ada acara di mana, mau silaturahmi di mana, jadi saya tetap akan naik motorlah," tutur Slamet.
Selain faktor kebutuhan, alasan lain Slamet memilih motor adalah waktu tempuh yang berbeda jauh dibandingkan mudik menggunakan angkutan umum. Jika berkaca di Lebaran tahun lalu, dia pulang kampung dari H-5. Menggunakan angkutan umum, dia baru sampai kampungnya selama 12 hingga 13 jam. Sementara jika dia naik motor, waktu tempuh hanya 8 jam saja.
"Kalau naik bus enggak ada hitungannya. Bisa dari malam ke malam, nginap di bus kita," ujarnya sambil mengikat simpul trakhir kardus daganganya.
"Sudah gitu, kalau naik bus lama, enggak nyamannya sudah dari awal. Dulu saya pernah naik bus nunggu di Terminal Pulogadung, enggak dapat. Akhirnya kita pindah ke Kampung Rambutan. Itu saya berangkat maghrib, baru dapat bus itu jam 01.00. Apanya yang enak naik bus," ujarnya heran.
Belum lagi, rasa was-was akan keselamatan keluarga dari ancaman gangguan seperti hipnosis, dan barang-barang yang rentan raib di tengah jalan.
Alasan terakhir tentu lebih murah. Jika angkutan umum ke Tegal Rp 35.000 hingga Rp 50.000 untuk kelas ekonomi, berarti minimal ia harus membawa uang sekitar Rp 100.000 atau Rp 150.000 untuk satu kali perjalanan, belum dengan biaya jajan anak serta istrinya dikali dua saat kembali dari kampung halaman ke Jakarta.
"Ya, jelas lebih murah naik motor. Meski memang rawan kecelakaan di jalan. Tapi ya selama kita di jalan enggak macam-macam ya ngapain takut. Beda kalau bicara takdir. Ibaratnya, kalau takdirnya meninggal, ya meninggal saja, gitu," lanjut Slamet.
"Sudah ya, Mas, saya tinggal dulu," pamit Slamet sambil menyalakan mesin motor yang akan digunakan mudik lima hari menjelang Lebaran, besok.
Sebelumnya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta bersama Dirlantas Polda Metro Jaya berencana membuat check point di sejumlah jalan yang berbatasan dengan luar DKI. Di sana, petugas gabungan akan memantau pemudik, khususnya pemudik yang menggunakan motor. Jika dianggap melebihi kapasitas, petugas akan menurunkan paksa dan menyuruhnya untuk pindah ke angkutan umum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.