Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, pada tahun 1918, ada rumah jagal milik Menir Haas di Gang Kenari. Karena baunya, rumah jagal tersebut ditutup, kemudian diganti oleh Thamrin sebagai gedung pertemuan.
Kala itu, Pemerintah Hindia Belanda, lanjut Ridwan, merasa iba dengan orang-orang pribumi akibat aktivitas jagal Menir Haas. Padahal, Menir Haas adalah salah seorang ahli daging. Daging kualitas super, daging haas, mengacu pada nama si ahli daging itu.
"Sebelum (pasar kambing) Tanah Abang (pada 1930), sudah ada ketentuan itu (tidak boleh ada polusi karena jagal)," jelasnya saat dijumpai di rumahnya, di Bintaro, Jakarta, Selasa (6/8/2013).
Keberadaan pasar kambing di Tanah Abang mulai ramai setelah 1930. Pada saat itu, orang-orang Betawi sangat taat dengan adatnya. Bagi keluarga berada, anak laki-laki yang berumur 10 tahun diberi sepasang kambing, jantan-betina, untuk dipelihara. Beranjak dewasa, anak-anak yang mulai bosan atau memiliki kesenangan lain boleh menyembelih kambing-kambing itu.
Selain dibelikan kambing, anak laki-laki tadi juga dipasangi anting sebelah. Zaman sekarang serupa dengan anak-anak punk.
Sejak awal abad ke-19, Tanah Abang terkenal dengan pusat perdagangan chita (tekstil). Orang-orang yang punya hajat pun berbondong-bondong membeli rupa-rupa perlengkapan upacara di sana.
Karena banyaknya kambing di Tanah Abang (pasca 1930), orang-orang pun melengkapi belanjaan mereka dengan belanja kambing. Ridwan memastikan kambing-kambing itu bukan kekhasan Tanah Abang.
Seperti pada umumnya pasar, ada perdagangan hewan. Sebut saja Pasar Senen yang ramai dengan perdagangan ayam dan burung, Pasar Jumat dengan perdagangan kambing benggala, serta Pasar Rabu yang tenar dengan pusat perdagangan kelinci.
Keberadaan pasar tersebut lambat laun habis. Ada yang karena proyek pembangunan seperti di Pasar Senen, tetapi umumnya karena tidak ada konsumen (permintaan) seperti Pasar Rabu dan Pasar Jumat.
"Dulu banyak pasar hewan (itu) yang lenyap. Ya, harus terima perubahan, masa kita nangis?" ujarnya.
Lebih lanjut ia menegaskan, keberadaan pasar hewan pun sudah berisiko bagi lingkungan, apalagi rumah jagal. Oleh karenanya, soal jagal di Tanah Abang, Ridwan melihat mudahnya, pemerintah provinsi tinggal menimbang. Berapa banyak orang yang terlibat dalam bisnis jagal? Berapa banyak orang yang terlibat dalam perdagangan kaki lima, yang mau masuk ke Blok G Tanah Abang. "Kita harus adil, bukan artinya mencabut hak orang mencari rezeki," kata dia.
Dia menyatakan, warga Tanah Abang yang berkepentingan dengan rumah jagal juga harus bersikap dan berpikir realistis. "Dari dulu polusi memang harus dijaga, (jagal) memang harus di luar kota," ujar Ridwan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.