JAKARTA, KOMPAS.com
Sebagai ibu kota negara, Jakarta masih dinilai belum ramah kepada warga. Pasalnya, warga masih kesulitan dalam mengakses fasilitas umum. Bahkan, untuk mendapatkan pelayanan umum, warga terpaksa mengeluarkan dana lebih banyak daripada seharusnya.

Ketidakramahan Jakarta ini membebani warga. Fasilitas transportasi, misalnya, belum sepenuhnya mampu melayani hingga ke permukiman warga.

"Itu sangat jelas terjadi di Jakarta. Masyarakat kesulitan menuju area bermain anak-anak, tempat terbuka untuk berkumpul, sekolah, pasar, dan fasilitas kesehatan," kata pakar tata kota dan lingkungan, Bianpoen, di sela-sela simposium Livable Cities, Jakarta, Minggu (18/8), yang diselenggarakan Congress of Indonesian Diaspora.

Menurut Bianpoen, keberadaan fasilitas umum yang dekat dengan permukiman merupakan salah satu syarat fundamental berdirinya sebuah kota modern. Hal itu bertujuan mendukung mobilitas masyarakat, penghematan segala jenis biaya (uang, waktu, dan tenaga), serta keselamatan. Idealnya, tempat-tempat itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau paling tidak dengan sepeda.

Dia menambahkan, ketersediaan transportasi umum sekalipun tidak akan banyak membantu.

"Kalau setiap hari warga mengeluarkan biaya transportasi untuk mengakses layanan publik, warga tidak akan bisa mengembangkan ekonomi keluarganya. Belum lagi masalah kemacetan," ujar mantan Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Masalah Perkotaan dan Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 1963-1986.

Arsitek dan pakar perkotaan Universiti Teknologi Malaysia, Bagoes Wiryomartono, mengungkapkan, idealnya jarak permukiman dengan fasilitas umum 300-400 meter dalam waktu tempuh 5-10 menit.

"Penataan itu membuat kota walkable (bisa dicapai dengan berjalan kaki), terutama oleh anak-anak dan orang lanjut usia," ujarnya.

Kota Jakarta, seperti kota-kota lain di Indonesia, tidak dirancang dengan pengelompokan ruang yang dihubungkan dengan fasilitas umum.

Bagoes mengatakan, secara proporsional, populasi sebuah permukiman dijadikan dasar pertimbangan untuk membangun fasilitas umum, seperti sekolah, pasar, pos polisi, dan tempat ibadah.

Penataannya mirip dengan apa yang diterapkan kota modern, yaitu di beberapa kawasan hunian mewah di Jabodetabek.

Pembenahan

Bianpoen dan Bagoes sama-sama optimistis bahwa usaha mengintegrasikan permukiman dengan fasilitas umum dalam rangka menciptakan kota yang layak huni belum terlambat. Mereka mengharapkan adanya kemauan politik para pengambil kebijakan, baik di tingkat lokal maupun pemerintah pusat.

Untuk jangka panjang, Bagoes mengusulkan agar pemerintah di kota-kota besar berani menempatkan semacam community planner di setiap kecamatan yang berfungsi menjembatani masyarakat dan pemerintah.

"Seorang community planner mengetahui seluk-beluk sebuah area beserta kebutuhan fundamental dan situasi sosial mereka," ujarnya.

Misalnya, di Warakas, Jakarta Utara, orang lebih membutuhkan air minum. Sementara di Kebayoran Lama, masyarakat lebih memerlukan taman.

Di samping itu, Bagoes juga meminta pemerintah untuk berani mengembangkan sistem transportasi terintegrasi. Meski fasilitas umum agak jauh dari permukiman warga, setidaknya akses transportasi dipermudah dan saling terhubung. Tujuannya agar alih moda transportasi lebih aman, nyaman, dan ramah bagi semua orang.

Terkait pembangunan rumah susun yang dilakukan Pemprov DKI dengan merelokasi warga bantaran sungai, Bianpoen mengingatkan, perlu penyesuaian lingkungan fisik dan sosial. Pasalnya, ada perbedaan cara hidup yang tajam antara lingkungan lama dan lingkungan baru yang dimasuki warga. (K01)