JAKARTA, KOMPAS.com
— Kalangan produsen tempe dan tahu mensinyalir adanya permainan para importir atau spekulan kedelai untuk mendongkrak harga jual kedelai. Mereka memanfaatkan isu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebagai alasan tingginya harga beli kedelai impor.

Kondisi ini memaksa produsen tempe dan tahu menurunkan produksi sampai 40 persen. Meski demikian, Kementerian Perdagangan belum mengizinkan Bulog mengimpor kedelai, tegas Ketua Koperasi Tempe Tahu Indonesia DKI Jakarta Suharto dan pengurus serta sejumlah perajin tempe dan tahu di sentra produksi di kawasan RW 011 Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Selasa (27/8) siang.

Mereka mengeluh, sampai sekarang Gabungan Koperasi Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) masih kesulitan mengurus izin importir kedelai. Anehnya, Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dengan mudah memberi izin impor kepada para pemodal besar yang memiliki usaha impor kedelai sampai lebih dari dua perusahaan.

Padahal, jika Gakoptindo mendapat izin impor kedelai, tindakan para importir kedelai yang merugikan produsen bisa dieliminasi. Selain itu, fluktuasi harga kedelai yang mendongkrak biaya produksi tempe dan tahu juga bisa dihindari.

”Yang ideal, Gakoptindo dan Bulog-lah yang mendapat kuota impor kedelai lebih banyak ketimbang kartel importir kedelai ini,” kata Suharto.

Suharto mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dugaan permainan tersebut. ”Saya menduga, kasusnya bakal seperti kasus daging sapi.”

Menurut Suharto, rumah produksi tempe dan tahu di DKI saat ini ada 5.274. Setiap bulan mereka membutuhkan sekitar 10.362 ton kedelai.

Sekretaris Jenderal Gapkoptindo Suyanto menambahkan, kenaikan harga kedelai lebih disebabkan permainan importir atau spekulan. ”Memang melemahnya nilai tukar rupiah ikut berpengaruh, tetapi ulah spekulan jauh lebih besar,” katanya.

Para spekulan itu menimbun kedelai hingga harga naik baru kemudian melepaskan pelan-pelan ke pasar untuk meraup keuntungan yang besar. Jika harga terus dibiarkan naik, pasti banyak pengusaha yang kolaps.

”Kami segera rapat untuk memutuskan kapan para perajin untuk sementara menghentikan produksinya secara serentak,” ujar Suyanto. Sejauh ini, melambungnya harga kedelai menyebabkan 5.274 perajin di DKI menurunkan produksi hingga 40 persen. Sejumlah produsen tempe dan tahu yang ikut berkumpul mengatakan, mereka pernah mengikuti mekanisme penyesuaian harga tempe berdasarkan harga kedelai impor.

Hentikan produksi

Berdasarkan pantauan di Kota Bogor, lonjakan harga kedelai dari Rp 7.300 per kilogram menjadi Rp 9.100 per kilogram membuat 50 produsen dari 130 produsen tempe berhenti berproduksi. Jika masih ada yang membuat tempe dan tahu, mereka mengurangi produksi untuk sekadar bertahan.

Kasmono (45), pembuat tempe di RT 005 RW 004 Kedungbadak, Tanah Sareal, Kota Bogor, mengaku bingung. Permintaan tempe tetap tinggi, tetapi harga kedelai naik. Jika memperkecil ukuran tempe, pembeli enggan. Menaikkan harga tempe belum tentu bisa dipahami pembeli.

Kasmono memimpin kelompok usaha tempe yang terdiri atas lima pembuat dengan jatah pasokan 5 ton kedelai per minggu. Karena harga kedelai naik, bahan baku tidak dihabiskan dalam seminggu, tetapi dua minggu. Dengan demikian, produksi tempe kelompok Kasmono turun 50 persen.

Seminggu lalu, kelompok Kasmono membeli kedelai dengan harga Rp 8.300 per kilogram. Dari 5 ton yang dibeli, 3,5 ton sudah terpakai dan kini masih tersisa 1,5 ton kedelai. Kelompok ini masih ragu untuk mengolah semua kedelai karena harga bahan baku sudah menembus Rp 9.100 per kilogram. Jika dihabiskan, kelompok terpaksa membeli bahan baku dengan harga tinggi, sementara harga jual yang dinaikkan belum tentu dipahami pembeli.

Ketua Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia Kota Bogor Muchtar Shatrie mengatakan, lonjakan harga kedelai membuat 50 perajin tempe tidak berani berproduksi. Perajin yang gulung tikar adalah perajin yang produksinya di bawah 3 ton per minggu. Kuota kedelai untuk seluruh perajin di Kota Bogor mencapai 340 ton per bulan. (BRO/WIN/RAY)