Sofyan merupakan warga Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Beberapa saat sebelum puasa lalu, ia menanam padi di atas sawah seluas satu hektar. Modal yang ia keluarkan Rp 4 juta dan semestinya, bila panen sukses, dia dapat meraih keuntungan Rp 2 juta.
Sofyan mengaku, ketika menanam padi beberapa bulan lalu, sawahnya masih berair. Ia memperkirakan, sawahnya masih bisa berair hingga Oktober atau November. Ia berharap ada hujan. Namun, air dari langit hanya datang sesekali sepanjang periode tanam Juli-November. Sawah Sofyan pun kering dan padinya mati. Alih-alih untung, nasibnya justru buntung.
"Rugi Rp 4 juta deh saya sekarang," kata Sofyan, Senin (14/10/2013).
Siang tadi, Sofyan hanya duduk-duduk bersama rekan-rekannya di pinggir jalan. Pandangannya kosong menatap sawah dan padinya yang mati.
Desa Lontar di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, merupakan salah satu desa yang diduga menjadi korban korupsi saluran irigasi. Selain Desa Lontar, dua desa lain di Kecamatan Tirtayasa tak dapat menikmati air dari saluran irigasi. Pembangunan saluran irigasi beberapa tahun lalu tidak sampai ke Desa Lontar.
Hanya desa dan kecamatan di seberang Desa Lontar yang kebagian pembangunan saluran irigasi. Maka, ketika desa seberang berhenti mengandalkan hujan, Desa Lontar masih tetap jadi sawah tadah hujan. Padahal, air di Sungai Grujugan melintasi desa seberang.
"Asal Pemprov Banten mau menyodet kali itu dan membuat penampungan air di ujung desa ini, pasti kami tak perlu lagi hujan," kata Sofyan.
Kini, Sofyan cuma bisa iri melihat desa tetangga panen padi setahun tiga kali. Setiap tahun, Sofyan hanya bisa satu kali panen. Dua kali masa tanam berikutnya, dia lebih sering gigit jari alias gagal panen. Langkahnya serba salah. Kalau tidak ikut menanam padi, bisa jadi sawah tetap berair dan bisa panen. Namun, jika nekat menanam, maka bukan tidak mungkin sawah menjadi kering. Itulah yang terjadi padanya saat ini.
Buang (45), warga Desa Lontar, mengalami hal yang sama. Bukan hanya gagal panen, ia juga sedih karena kekeringan menyebabkan biaya hidup di desa itu menjadi serba mahal.
Menurut Buang, di desanya yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Serang, air sumurnya berupa air payau. Setiap hari ia harus membeli air bersih. Pagi-pagi saat bangun tidur, Buang sudah harus merogoh kocek dan mengeluarkan uang Rp 10.000 untuk enam jeriken air bersih. Air itu dipakai untuk membasuh tubuh. Air payau tetap digunakan untuk mandi.
Belum lagi biaya makan dan membeli air untuk minum. Dalam sehari, Buang bisa mengeluarkan uang Rp 20.000 untuk kebutuhan dasar. Padahal, penghasilannya sebagai nelayan hanya sekitar Rp 30.000 per hari.
"Sebenarnya kalau padi tak gagal panen, saya bisa lebih bebas mengatur uang. Ini gagal panen sih," kata Buang. Kini Buang hanya bisa pasrah menatap sawah di dekatnya. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.