Oleh: Neli Triana

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak sebelum Masehi, ruang terbuka hijau, termasuk di dalamnya taman, sudah menjadi bagian erat sebuah kota. Sebut saja Taman Gantung persembahan Raja Nebukadnezar dari Babylonia (Iran) kepada istri tercinta yang kala itu termasyhur seantero jagat.

Pada masa kerajaan Hindu-Buddha hingga pengaruh Islam masuk Nusantara, taman punya arti penting lain, yaitu tempat raja dan keluarganya bermeditasi, relaksasi, dan berlindung dari serangan musuh. Sejak itu hingga masa sekarang, taman selalu menjadi sisi cantik dari kota sekaligus oase di tengah padatnya bangunan.

Di abad ke-21 ini, meskipun ada pergeseran, segenap fungsi itu pun diyakini masih melekat pada taman-taman kota. Dari segi ekologis, ruang terbuka hijau (RTH) memiliki peran ganda, yakni sebagai daerah resapan air yang berfungsi mengendalikan banjir, limpasan air laut (rob), konservasi air tanah, dan penurunan muka tanah.

Taman juga menjadi paru-paru kota yang bertugas menyerap polutan, karbon dioksida, dan memproduksi oksigen. Itulah sebabnya mengapa RTH harus berada di pusat kota dan di tengah-tengah permukiman.

Setahun terakhir, Jakarta giat membenahi taman kota. Aktivis Gerakan Kota Hijau, Nirwono Joga, mengatakan, semangat pemimpin Jakarta Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama untuk membenahi dan menambah taman demi mencapai target mewujudkan 30 persen RTH dari total luas Jakarta wajib dikawal. Apalagi, Jakarta masih menyimpan banyak potensi RTH cukup besar.

Dalam sambutan yang ditulisnya pada buku Burung Ibu Kota, Nirwono menyebutkan potensi RTH Jakarta mencapai 23,58 persen, yang terbagi RTH publik 4,84 persen dan RTH privat sebanyak 23,58 persen.

Penataan Waduk Ria Rio di Jakarta Timur dan Waduk Pluit di Jakarta Utara menjadi bagian dari upaya itu. Bahkan, beberapa taman di Jakarta dilengkapi jalur khusus pejalan kaki, tempat bermain anak, sampai fasilitas wi-fi.

Namun sayang, fungsi utama taman sebagai indikator baik atau buruk suatu lingkungan alam maupun sosial itu belum terlihat wujudnya.

Di sekeliling Taman Cattleya, Jakarta Barat, sampah tampak memenuhi saluran air. Fungsi taman sebagai tempat berinteraksi warga pun belum tercapai. Hal ini terjadi karena belum ada rasa memiliki serta kebutuhan untuk bisa merasa aman dan nyaman saat berada di taman belum terpenuhi.

Sesuai kebutuhan

Melihat semangat Pemerintah Provinsi Jakarta yang getol memperbaiki taman kota, Nirwono Joga berpendapat pentingnya warga memberikan masukan yang tepat kepada pemerintah.

”Menata taman sebaiknya memerhatikan karakteristik masyarakat di sekitar taman itu. Lihat komposisi penduduknya, banyak usia muda, remaja, atau pensiunan. Latar belakang ekonomi dan masalah sosial di daerah itu bagaimana?” kata Nirwono, yang juga menulis buku seri Kota Hijau.

Di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, misalnya, cocok dikembangkan taman sekaligus instalasi seni mengingat warga di sekitar umumnya mapan dan berpendidikan tinggi. Di sebagian Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang dihuni pensiunan, taman sebaiknya didesain dengan mengakomodasi kebutuhan warga lansia.

Namun, bukan berarti taman-taman kota lantas jadi tempat eksklusif. Yang digarisbawahi di sini adalah kebutuhan fasilitas setiap taman itu berbeda dan yang menentukan adalah masyarakat sekitarnya.

Rasa memiliki