JAKARTA, KOMPAS.com — 
Dewan Transportasi Kota Jakarta menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperbolehkan semua bus sedang dan besar reguler menggunakan jalur bus transjakarta. Hal itu dimaksudkan untuk mengurai kemacetan lalu lintas yang melanda Jakarta dalam sepekan terakhir.

Namun, sederet aturan diperlukan agar kebijakan jangka pendek itu tak menuai masalah baru. Pemerintah pusat dan DKI diminta segera menyelesaikan masalah kelembagaan penyelenggara transportasi.

Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan, Minggu (10/11), mengingatkan, masalah pokok bus transjakarta saat ini adalah kekurangan armada. Padahal, jalur sudah bebas hambatan. ”Sembari menunggu armada baru datang dan mempercepat adanya integrasi antarmoda, bus reguler sedang atau kecil akan lebih baik jika dipersilakan menggunakan jalur bus transjakarta,” katanya.

Masuknya bus selain transjakarta di jalur khusus bus sebenarnya telah dimulai sejak sekitar satu tahun terakhir. Bus Kopaja AC yang memiliki spesifikasi bus seperti bus transjakarta dan bus angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB) telah berlalu lalang di jalur khusus bus. Kebijakan jalur transjakarta dipakai bus lain ini disebut direct service, yang juga telah diterapkan di beberapa kota besar di negara lain, seperti di Shanghai, China.

Namun, sistem itu belum optimal karena bus non-transjakarta yang beroperasi di jalur khusus amat sedikit serta baru menjangkau rute layanan yang masih sangat terbatas.

Terkait masalah kelembagaan penyelenggara transportasi, Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, Daniel Rosyid, berpendapat, andil besar pemerintah pusat yang ditunggu adalah pembentukan Otoritas Transportasi Jabodetabek. ”Itu paling penting sekarang. Pusat wajib menjamin otoritas ini akan memiliki kewenangan luas karena ia harus bisa mengatasi kompleksitas masalah transportasi di kawasan metropolitan,” kata Daniel.

Adanya otoritas transportasi lintas wilayah ini akan mendukung penerapan kebijakan disinsentif penggunaan kendaraan pribadi, termasuk penerapan tarif parkir sesuai zonasi, jalan berbayar (electronic road pricing/ERP), serta pembangunan angkutan umum dan angkutan massal antarwilayah.

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno pun mendesak pusat segera bertindak. ”Saat Jakarta dilanda banjir besar sampai jalan tol menuju bandara pun terendam, tahun 2007, saat itu juga ada keputusan dibangun jalan tol layang ke bandara. Dalam satu tahun, proyek jadi dan efektif sampai sekarang. Mengapa untuk masalah kemacetan Jakarta yang jelas menyengsarakan jutaan warga, pusat tak cepat bergerak?” katanya.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan, urusan lalu lintas merupakan tanggung jawab kepala daerah. Pemerintah pusat akan mendukung upaya untuk mengurai kemacetan, tetapi bukan berarti sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah pusat. (NEL/WHY)