JAKARTA, KOMPAS.com
— Ruang terbuka makin teraniaya di Jakarta. Bahkan, burung merpati pun tak lagi bebas terbang karena terhalang kepadatan belantara beton. Di tengah keterbatasan ruang hidup itu, warga masih bisa melampiaskan hobi menerbangkan merpati: sebuah kebahagiaan kecil di tengah sumpeknya kota besar.

Suatu siang yang riuh penuh sorak-sorai, tiga bocah dengan bersemangat mengayun-ayunkan merpati yang dipegangnya. Sementara itu, dari kejauhan, tiga merpati jantan terbang melesat kencang seakan berpacu untuk kemudian hinggap menghampiri pasangannya di tangan si bocah.

”Ini memang acara Just For Fun. Siapa saja penggemar atau pehobi burung merpati bisa ikut,” ujar Dany Wicaksono, panitia acara yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, akhir September lalu.

Di area lapang pada siang cerah itu, puluhan penggemar burung merpati yang datang dari seantero Jabodetabek bersukaria melampiaskan hobi. Di bawah teduh pohon angsana, sehabis menyeruput kopi, seorang pehobi mengeluarkan merpati dari dongdang atau kandang merpati. Diberi air, sang burung jinak bertengger di tangan. Para pemilik burung itu mempersiapkan para ”atletnya”.

Nama ”atlet” didaftarkan, ada puluhan jumlahnya. Ada yang bernama Rawit, Maling Celuring, Setan Hicker, ada pula Stoner dan Sinyo. Karena acara ini memang lebih sekadar untuk senang-senang, pesertanya beragam. ”Ada yang burung biasa kolongan, tinggian, atau burung balap,” kata Kelik yang ikut mengawasi jalannya lomba.

Di kalangan pehobi, merpati terbagi dalam beberapa jenis dengan spesialisasi tertentu. Merpati pos mengedepankan kemampuan navigasi dan daya jelajah pada rentang jarak sampai ratusan kilometer. Adapun merpati balap mengandalkan kecepatan. Merpati tinggian adalah para jago terbang. Pada merpati kolongan, burung datang dan melewati kotak (kolongan). ”Semua merpati itu bisa karena memang dilatih,” ucap Dany.

Seusai urusan administrasi, dongdang lepasan berisi 10 burung diangkut dengan sepeda motor menuju tempat start. Panjang lintasan lebih kurang 150 meter, lebih pendek daripada lomba biasa yang rata-rata menempuh jarak 500 meter sampai 1 kilometer.

Di tempat start, seseorang yang biasa disebut joki lepas masing-masing memegang seekor merpati. Mereka menunggu aba-aba, sementara di titik finis dua orang yang masing-masing memegang seekor merpati betina mulai menggelepek atau menggeber. Kedua sprinter itu pun dilepas, dan wusss.... Di ketinggian yang hanya sekitar setengah sampai 1 meter di atas permukaan tanah, keduanya melesat kencang. Yang lebih dulu hinggap di tangan joki kelepek atau pemiliknya, dialah sang pemenang.

Tak semua hinggap sempurna di garis finis. Tatkala tiga bocah beraksi, salah seorang yang mungkin terkejut melihat laju merpatinya datang, mengelak sehingga si burung meleset dari hinggapan, dan kontan mengundang geerrr penonton.

Tak semua merpati ”remnya” pakem. Pernah ada burung yang nyeplos menubruk penonton di belakang titik finis.

Ruang terbuka

Menyaksikan merpati terbang bebas memberikan rasa puas bagi pehobi. Mereka terpesona saat merpati melesat. Dara-dara itu tampak indah mengepakkan sayap, lalu laksana peluru terbang melaju meninggalkan saingannya. Dengan rem yang pakem, sang burung lalu hinggap di tangan pemiliknya. Saat itulah pehobi merasakan kebahagiaan yang tak bisa dibeli. ”Waduh, kalau sudah lihat kayak gitu rasanya...,” kata Santriyadi tanpa melanjutkan kata-kata, tetapi menunjukkan ekspresi puas.

”Pulang kerja capek, lalu istirahat dan ngelatih merpati, rasanya jadi rileks, plong,” ujar Santriyadi menambahkan.

Lokasi paling pas untuk menyaksikan kehebatan merpati adalah di tanah datar yang luas. Lokasi idaman seperti itu kini semakin sulit ditemukan di Ibu Kota. ”Dulu lokasi yang pas di Kemayoran yang jadi pusat permainan merpati. Sekarang kita terus menyisir ke pinggiran, sampai ke Mauk dan Kanal Timur,” kata Henry Gunawan (58) yang kini tinggal di Bogor.

Ishak Hadi, pemain merpati pos yang usianya sudah separuh baya, masih ingat saat dia baru menginjak remaja, banyak temannya di kawasan Bungur, Senen, Jakarta Pusat, bermain merpati kentongan. Begitu merpati tiba, anak-anak akan memukul bunyi-bunyian sebagai tanda.

Kentongan-nya itu, ya, tiang listrik dipukul pakai besi. Waktu itu sih kentongan-nya kedengaran karena jarak main merpati dengan jarak rumah kami tidak berjauhan,” kata Ishak.

Sejarawan dan pegiat budaya Betawi, JJ Rizal, menengarai, olahraga hewan bukan termasuk budaya lokal, melainkan bagian dari tradisi pelesir orang Belanda. ”Dulu orang Belanda suka balap anjing, balap kuda. Tempatnya di Weltevreden,” katanya.