JAKARTA, KOMPAS.com —
Proyek normalisasi Sungai Pesanggrahan, Angke, dan Sunter, yang dicanangkan Kementerian Pekerjaan Umum bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama dua tahun terakhir, hasilnya belum optimal.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Manggas Rudy Siahaan mengakui, pekerjaan normalisasi sungai masih sepotong-sepotong. Pemasangan turap di Kali Pesanggrahan di Ulujami belum selesai. Di banyak tempat, lahan belum bebas dari bangunan, baik yang berizin maupun yang liar.

”Kami berupaya agar kawasan sungai kembali ke trase tata kota ideal, misalnya di kanan dan kiri sungai harus ada jalan inspeksi selebar minimal 6 meter. Bangunan yang melanggar harus ditertibkan,” kata Manggas, di Jakarta, Selasa (19/11/2013).

Akan tetapi, kenyataan di lapangan amat berbeda. Tidak ada penegakan aturan tegas seperti disebut Manggas. Hal ini terlihat di sepanjang bantaran Pesanggrahan, antara lain di Ulujami, Jakarta Selatan, hingga masuk ke wilayah Jakarta Barat.

Di Ulujami, bahkan kompleks Pasar Cipulir berada tepat di bibir sungai. Tidak heran jika saat hujan deras dan air Kali Pesanggrahan meluap, sebagian lahan pasar terendam. Kini, tepat di bibir kali juga ada proyek gedung baru. Untuk mengakali agar tidak kebanjiran, proyek yang tepat berada di seberang Pasar Cipulir itu mengandalkan turap beton yang ditanam di dinding sungai dan meninggikan lahan dengan pengurukan tanah.

Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor saat dihubungi pada Senin mengatakan akan mengecek perizinan bangunan baru di tepi Pesanggrahan.

”Informasi dari Kasudin (Kepala Suku Dinas P2B Jakarta Selatan), izinnya yang mengeluarkan dari tingkat Dinas P2B. Sudin sedang mencari informasi ke dinas,” demikian jawaban Syamsudin melalui pesan singkat.

Jalan inspeksi

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan akan membongkar bangunan liar di lahan yang seharusnya menjadi jalan inspeksi. ”Kalau mau semua bangunan yang melanggar dibongkar, saya yakin setengah bangunan di Jakarta ini harus dibongkar. Sekarang kami fokus dulu membongkar bangunan yang berada di atas lahan untuk jalan inspeksi,” ujarnya.

Persoalannya, di atas lahan untuk jalan inspeksi itu juga ada bangunan yang berizin dan bersertifikat selain bangunan liar. Untuk bangunan liar, Pemprov DKI berhak langsung membongkar. Namun, Pemprov DKI menunggu ketersediaan rumah susun untuk menampung warga yang terkena pembongkaran.

Untuk bangunan berizin dan bersertifikat, Pemprov DKI tidak bisa membongkar begitu saja. ”Kalau ada izin atau sertifikat, mau tidak mau harus kami beli lahannya. Kalau belum bisa kami beli sekarang, tunggu tahun depan saat peraturan pemerintah tentang pembelian tanah untuk kepentingan negara berlaku. Kalau mereka menolak, kami konsinyasi. Rumah Anda kami bongkar demi kepentingan negara,” kata Basuki.

Kampung Apung

Di Jakarta Barat, Kasudin PU Tata Air Pamudji mengungkapkan, terkait antisipasi bencana banjir di kawasannya ada sejumlah kendala. Rencana pengeringan Kampung Apung di kawasan RW 001, Kapuk, Cengkareng, misalnya, bakal tertunda karena perbaikan saluran air penghubung dari Kampung Apung ke Kali Angke menyisir Jalan Kapuk Raya belum selesai.

”Betonisasi saluran penyelesaiannya terkendala karena selain dikerjakan pada malam hari, lalu lintas di pinggiran saluran juga padat. Tidak ada trotoar, tidak ada tempat parkir kendaraan operasional,” katanya.

Dari pengamatan Kompas di lokasi, Senin, betonisasi saluran terkesan dikerjakan buru-buru dan serampangan, lebar saluran tidak sama sambung-menyambung dengan yang lain. Beberapa tutup saluran yang terbuat dari beton rusak, pecah, dan jatuh ke saluran. Tutup saluran yang rusak tersebut tampak di Jalan Mawar. (FRO/WIN/NEL)