JAKARTA, KOMPAS.com
 — Mereka adalah penjaga napas dan kehidupan ribuan manusia setiap hari. Namun, sering kali mereka harus melihat kematian dari jarak yang begitu dekat.

Klang-klang-klang...

Hampir 60 detik sirene Pos Pelintasan Kereta Api 30 Senen, Jakarta Pusat, memekik keras. Perlahan pintu palang rel kereta api berkelir merah putih itu turun mencoba menghentikan semua yang ada di depannya.

Akan tetapi, dari arah Jalan Kramat Bunder, lima sepeda motor melesat kencang tanpa mengurangi kecepatan. Mereka menerobos palang pintu pelintasan yang menyisakan sedikit ruang.

Tak ada penyesalan. Beberapa pengendaranya tertawa puas. Riang gembira berhasil lolos dari maut. Penjaga Pos Pelintasan Kereta Api 30 Senen, Warto Susetyo (50), untuk kesekian kali hanya mengelus dada.

”Tiga aman,” kata Warto pelan segera mengabarkan kepada pemimpin perjalanan Stasiun Senen bahwa jalur tiga aman dilalui. Hanya dalam hitungan detik, KRL Senen-Jatinegara melintas pukul 10.31.

Hanya diberikan waktu kurang dari 2 menit, Warto bangkit dari kursi bolong berbusa kuning. Kabar ada kereta lain yang melintas membuatnya kembali siaga.

Ia tekan lagi tombol sirene itu. Dua tangannya sibuk siang itu. Bersama tiga temannya, sebanyak 310 perjalanan kereta api harus ia layani setiap hari dari pukul 01.00 hingga 23.45.

Akan tetapi, seiring turunnya papan pelintasan, ia kembali melihat kebodohan. Dari ruas Jalan Suprapto yang menyempit, bus metromini Senen-Tanjung Priok nekat menerobos. Beberapa pengemudi sepeda motor mengikuti tingkah celaka itu. Kepala salah seorang pengendara sepeda motor terantuk palang pintu meski ia tidak lantas mengurangi tarikan gas sepeda motornya.

”Mungkin nyawa tidak ada artinya. Mereka tidak tahu bagaimana perasaan kami melihat banyak korban tewas akibat kenekatan,” kata Warto.


Melihat kematian

Di tengah gemuruh laju kereta api, teriakan lantang Heru (22), penjaga pelintasan lainnya, seperti angin lalu.

Ia masih ingat, sekitar pertengahan tahun 2013, saat sirene masih berbunyi dan palang pintu diturunkan, seorang nenek melintasi rel. Nenek itu tak menghiraukan peringatan Heru.

Terpisah sekitar 200 meter, Heru tahu sisa nyawa nenek itu tidak akan lebih dari kedipan mata. ”Rasanya sama seperti melihat kecelakaan di rel untuk pertama sekitar dua tahun lalu. Kaki masih lemas dan gemetar,” kata Heru.

Afrizal (36), penjaga Pos Pelintasan Kereta Api 31, yang berjarak 1 kilometer dari Stasiun Pasar Senen, tidak bisa tidur nyenyak, akhir-akhir ini. Sedikitnya enam nyawa melayang di pelintasan kereta api sekitar Pasar Senen dalam sebulan terakhir. Semuanya buah ulah nekat korban yang menerobos pintu pelintasan kereta api.