JAKARTA, KOMPAS.com
 Pelayanan publik di kota-kota besar di Indonesia belum sepenuhnya memuaskan warga. Hal ini terjadi karena birokrasi layanan masih lamban dan berbiaya tinggi. Birokrat belum sepenuhnya menyadari bahwa dirinya sebetulnya adalah pelayan, bukan sebagai pihak yang malah harus dilayani.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menyampaikan hal itu saat membuka acara diskusi media bertema ”Membangun Pelayanan Publik yang Profesional”, Senin (23/12), di Jakarta.

”Tidak bisa dimungkiri, selama ini masih banyak yang mengeluh pelayanan publik oleh aparat pemerintah. Hal ini harus diubah. Budaya korup dan pungutan liar mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat bahwa pelayan dapat diandalkan, bersih, dan profesional,” kata Amir Syamsuddin di depan peserta diskusi.

Menurut dia, pelayanan publik yang lamban dan terkesan sulit cenderung menghadirkan penyimpangan. Sebab, biasanya layanan yang lambat bisa dipercepat kalau ada pungli dan yang sulit bisa dipermudah jika ada pelicin.

Berkaitan dengan itu, panitia diskusi mengundang pembicara yang dinilai andal memimpin lembaga birokrasi. Mereka, antara lain, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan.

Diskusi dipandu Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang mengawali diskusi dengan paparan reformasi birokrasi di kementerian itu.

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyampaikan sejumlah kiat memimpin birokrasi Jakarta. Jokowi mengaku harus berhadapan dengan birokrasi yang lamban dan tidak efektif. Karena itu, ia hampir setiap hari menyempatkan ke lapangan melihat persoalan secara langsung.

”Banyak bertanya kepada saya, mengapa setiap hari terus ke lapangan, bicara dengan akar rumput, mengapa itu harus saya lakukan? Jawaban saya, bagaimana kita bisa tahu persoalan di masyarakat kalau bersentuhan tangan dengan warga saja tidak pernah. Jika hanya di kantor, tidak akan tahu masalah mereka apa,” kata Jokowi.

Selama satu tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, dia menemui banyak persoalan mendasar di lapangan, salah satunya di sektor kesehatan. Walaupun di Ibu Kota, ternyata banyak warga yang tidak mampu membawa keluarganya ke rumah sakit. Sementara anggaran kesehatan untuk masyarakat tersedia Rp 1,5 triliun.

Persoalannya, bagaimana agar anggaran itu bisa sampai ke masyarakat. Ternyata masalah ada pada birokrasi pelayanan yang terlalu panjang dan tidak efektif. Berangkat dari kenyataan itu, Jokowi meluncurkan program Kartu Jakarta Sehat. Program ini memangkas pangjangnya birokrasi layanan kesehatan menjadi lebih pendek dan praktis.

Elektronik

Bukan hanya itu, Pemprov DKI juga memangkas panjangnya pengawasan keuangan dengan menerapkan program berbasis elektronik, salah satunya penerapan pajak online. Dampaknya adalah peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara signifikan. ”Pada awal pemerintahan, APBD DKI Rp 41 triliun, tahun 2014 naik menjadi Rp 69 triliun. ada peningkatan Rp 28 triliun hanya dalam waktu satu tahun,” kata Jokowi.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini lebih banyak mengandalkan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mulai dari lelang barang dan jasa pemerintah hingga pengurusan perizinan semua berbasis online. ”Saya bisa memantau pengurusan izin sampai di mana dan saya tahu di dinas mana perizinan itu tersendat,” kata Risma, yang memukau hadirin.

Penerapan program berbasis elektronik itu untuk memangkas panjangnya birokrasi dan mencegah pungutan liar. (NDY/RAZ)