Oleh:

JAKARTA, KOMPAS.com - Perubahan kadang memakan produk peradaban. Di masa jayanya, telepon umum bak primadona yang diperebutkan orang. Kini, nasibnya merana, teraniaya. Anak-anak zaman telah menemukan mainan baru bernama telepon genggam yang mengubah wajah peradaban.

Deretan telepon umum yang berada di trotoar sepanjang Jalan Tentara Pelajar, Jakarta, tidak ada satu pun yang memiliki gagang. Bilik telepon tertutup pedagang kaki lima. Jangankan digunakan orang, terlihat saja tidak. Di Jalan Gerbang Pemuda, Gelora, tak jauh dari Gedung DPR, dinding kaca bilik telepon lepas entah ke mana. Di bilangan Pasar Minggu, dua bilik telepon umum malah ditumpuki keranjang dagangan. Pada dinding masih terbaca ”Bisa Interlokal dan HP”. Alih-alih digunakan, tak seorang pun bisa mendekatinya.

Banyak telepon umum juga hilang karena ditarik oleh operatornya. Areal telepon umum di depan tangga menuju jalur pemberangkatan bus Terminal Blok M, misalnya, sekarang kosong. Tembok yang dulu dijadikan tempat bertenggernya sekitar 50 telepon umum, kini dicat putih. Hanya ada bekas-bekas kabel yang tercerabut di bagian atasnya. Seorang pedagang pulsa, Oji (35), menyeletuk, ”Hari gini cari telepon umum, udah enggak zaman. Kan udah ada hape,” tuturnya.

Atau dengar juga komentar seorang ibu-ibu ketika menjumpai telepon umum. ”Hah, telepon umum? Kirain udah enggak ada. Ntar gue tetanus lagi,” ucapnya.

Ngatimo (62), pedagang makanan dan minuman yang sudah 36 tahun berjualan di Terminal Blok M, bercerita, dulu sekitar tahun 1993-1994, telepon umum di lokasi itu menjadi primadona. Orang-orang bersedia antre berbekal koin recehan atau kartu telepon. Setelah telepon seluler (ponsel) marak, pengguna telepon umum makin sepi. Sedikit demi sedikit, telepon umum di situ dikurangi hingga akhirnya seluruhnya tercerabut. Bahkan, warung telekomunikasi (wartel) yang setahun lalu masih ada, kini menghilang. Bisnis wartel pun rontok dan tak mampu bertahan. Kini giliran kios penjual pulsa ponsel yang menjamur.

Namun, sebenarnya di Jakarta masih ada telepon umum. Di Stasiun Gambir, misalnya, ada lima telepon umum koin. Namun, hanya dua yang masih hidup. Setelah memasukkan koin pecahan Rp 100, dan menekan nomor tujuan, telepon pun masih bisa bersambung. Percakapan hanya berlangsung selama 20 detik sebelum angka di layar berkedip-kedip meminta koin tambahan. Satu telepon yang lain menyala, tetapi ketika gagang telepon didekatkan telinga, terdengar suara, ”Telepon tidak dapat digunakan. Silakan selesaikan tagihan Anda....”

Petugas kebersihan, Yanto (50), mengatakan, kadang masih ada orang yang menggunakan telepon umum di tempat itu. ”Enggak pasti sih. Tapi kalau pas ramai, ada sekitar 10 orang yang pakai,” katanya.

Ia menuturkan, pengguna kerap marah-marah karena telepon umum itu menelan koin mereka ketika telepon tidak diangkat. Ada yang mencoba menusuk-nusukkan lidi ke lubang koin dengan harapan koin mereka kembali. Karena tidak berhasil, yang ada malah umpatan rasa kesal.

Makin tergerus

Nasib telepon umum yang merupakan artefak dari masa lalu, tergambar di Museum Telekomunikasi, Taman Mini Indonesia Indah. Di museum itu sebelumnya ada lima telepon umum koin dan kartu yang berjajar di halaman museum. Niken, petugas museum, mengatakan, telepon umum di situ ditiadakan karena sudah tidak ada lagi orang yang menggunakannya.

Di dalam museum, koleksi telepon umum dari masa ke masa ditampilkan, dari telepon umum koin pecahan Rp 25 hingga telepon umum kartu yang bisa digunakan untuk panggilan interlokal, internasional, dan ponsel. Koleksi kartu telepon umum yang pernah diterbitkan juga dipajang.

Dalam buku Dari Monopoli Menuju Kompetensi: 50 Tahun Telekomunikasi Indonesia Sejarah dan Kiat Manajemen Telkom, telepon umum koin mulai diperkenalkan pada masa Pembangunan Lima Tahun (Pelita) IV (1983-1988) sebanyak 5.724 unit. Telepon umum kartu mulai diperkenalkan pada tahun 1988 sebanyak 95 unit, meningkat pesat menjadi 7.835 unit pada tahun 1993.

Data terakhir dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2012, dari sekitar 40.000 unit telepon umum yang dikelola PT Telkom, 22.118 unit di antaranya tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), sisanya tersebar di kota-kota lain. Telepon umum yang dikelola PT Indosat di seluruh Indonesia sekitar 5.700 unit, 3.500 unit di antaranya di Jabodetabek.

Vice President Public Relation PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom) Arif Prabowo menyebutkan, hingga 2007, jumlah telepon umum koin masih 41.000 unit. Pada tahun 2009 berkurang menjadi 39.927 unit, seiring maraknya penggunaan ponsel.

Jumlah telepon umum koin semakin sedikit, juga disebabkan mahalnya biaya operasional dan perawatan. Selain itu, tren gaya hidup dan pengguna ponsel melesat pesat. Harga ponsel dan pulsa yang semakin terjangkau juga menggerus telepon umum,” papar Arif.