JAKARTA, KOMPAS.com
 — Sulit untuk tidak menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersalah lantaran memberikan izin membangun di bantaran Ciliwung. Warga penghuni bantaran Ciliwung tak sedikit yang punya ide dan memiliki izin mendirikan bangunan. Rumah mereka pun teraliri listrik PLN. Mereka juga rutin membayar berbagai iuran daerah.

Ketua Ciliwung Institute Sudirman Asun dan Koordinator Komunitas Peduli Ciliwung Bogor Een Irawan Putra, Jumat (31/1/2014), mengatakan, pemerintah harus mengakui sudah membiarkan, bahkan melanggar aturan, sehingga Ciliwung hancur sampai memicu bencana.

Bukti pemerintah membiarkan dan melanggar aturan bisa dilihat dari keberadaan permukiman dan bangunan komersial di bantaran Ciliwung dari hulu ke hilir. Padahal, perlindungan sempadan Ciliwung dari bangunan sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Waktu itu, masyarakat mengenal istilah tanah pengairan atau bantaran terlarang untuk bangunan fisik.

Sesudah Indonesia merdeka, terbitlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dan Peraturan Pemerintah No 25/1991 tentang Sungai, yang mengatur perlindungan terhadap bantaran.

UU No 11/1974 tentang Pengairan lalu digantikan dengan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air. PP No 25/1991 tentang Sungai digantikan PP No 38/2011 tentang Sungai. Aturan lama dan baru menegaskan, 10-20 meter dari bibir sungai atau sempadan dilarang untuk dibangun. Sungai, termasuk sempadan, adalah milik negara.

Masalahnya, sesudah aturan ditetapkan, penyerobotan bantaran terus terjadi. Pemerintah membiarkan tanah negara diserobot, bahkan dimiliki secara pribadi. Tak sedikit warga yang memegang sertifikat hak milik (SHM) atas sepetak tanah di bantaran yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Kondisi diperparah dengan pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) kepada pemegang sertifikat tanah bantaran.

Een menunjukkan, ada pengembang di Depok dan Bogor yang diadukan karena membangun di sempadan Ciliwung. Di Depok, salah satunya dapat ditemukan di kawasan Gunung Pasir. Sebuah pengembang tengah membangun perumahan mewah tepat di bibir Ciliwung.

Pengembang itu bahkan telah membangun turap setinggi 5 meter. Namun, turap itu longsor karena tak mampu menahan tanah yang terkikis hujan dan derasnya arus sungai. Yang jelas, pengembang tidak akan berani membangun jika tidak memegang SHM dan IMB. Yang menerbitkan SHM dan IMB tentu adalah lembaga pemerintah. ”Kerusakan Ciliwung berakar dari pemerintah yang melanggar aturannya sendiri, membiarkan masyarakat menyerobot dan merusak, serta tidak mau menegakkan aturan,” katanya.

Dalam tataran mikro, sudah ada Perda Kota Bogor No 8/2003 yang melarang keberadaan hunian di bantaran Ciliwung. Pemerintah sebenarnya berhak membongkar bangunan. Namun, penertiban urung antara lain karena terbentur kondisi hunian yang sudah ada sejak lama dan pemukim merasa legal.

Di Kota Bogor, deretan rumah memenuhi pinggiran Ciliwung di Katulampa, Sukasari, Baranangsiang, Pulogeulis, Babakanpasar, Sempur, Bantarjati, dan Kedunghalang. Di Katulampa, ada setidaknya 90 rumah di bantaran yang dihuni 110 keluarga. Di Babakanpasar ada sedikitnya 320 rumah di bantaran yang dihuni 360 keluarga.

Inilah contoh fakta praktik ”perampasan” sungai yang masif. (BRO/JOS)