Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasien di Jakarta Keluhkan JKN Tak Seperti KJS

Kompas.com - 22/02/2014, 17:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir dua bulan diterapkan, pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional masih dikeluhkan sejumlah pasien di Jakarta. Peserta mengeluhkan penurunan nilai keuntungan dibandingan pola jaminan kesehatan sebelumnya.

Sebagai contoh, menurut pantauan Jumat (21/2/2014), pasien di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, masih dibebani biaya obat yang tidak tersedia di apotek rumah sakit tersebut. Padahal, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seharusnya dapat mencakup seluruh layanan kesehatan dan obat pasien. Pembiayaan obat yang dibebankan kepada pasien disebabkan kurang tepatnya skema pembiayaan JKN.

Munthe Silaen (56), pasien penyakit jantung, mengatakan, sekitar sebulan lalu ia dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Tarakan karena penyakitnya kambuh. Saat dirawat di ICU, ia harus mengeluarkan biaya Rp 1,1 juta untuk membeli dua jenis obat, yaitu Lovenox dan OMZ, yang masing-masing seharga Rp 265.000 dan Rp 165.000 per botol.

"Waktu itu, dokter dan perawat bilang kami harus menebus di apotek lain karena obat itu tidak tersedia di apotek rumah sakit,” ujar Munthe saat mengantre obat di RSUD Tarakan, Jumat.

Sopir perusahaan aspal hotmix itu mengatakan, biaya tersebut bagi dia cukup mahal. Namun, ia tetap harus menebus obat cair yang disuntikkan ke badannya itu. Ia tidak mau serangan jantung tersebut kian parah.

Pria yang terdaftar sebagai peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) itu mengatakan, pelayanan JKN tidak bisa mencakup seluruh tindakan kesehatan dan kebutuhan obat. Saat memegang KJS, ia mengaku sudah dua kali operasi kelenjar getah bening (tiroid) dan lipoma. Masing-masing operasi itu menghabiskan dana Rp 22 juta dan Rp 8,7 juta. Namun, kala itu ia tidak dibebani biaya sepeser pun untuk biaya operasi.

"Saya merasakan perbedaan itu betul karena saya sudah dua kali operasi. Baru kali ini dirawat di ruang ICU saya harus tebus obat sendiri," ujar bapak empat anak tersebut.

Penuturan serupa diungkapkan Dairoh (52). Warga Jelambar, Jakarta Barat, tersebut juga harus membeli beberapa jenis obat yang tidak ada di RSUD Tarakan. "Beberapa jenis obat yang tidak ada di rumah sakit memang harus ditebus di luar. Obat ditebus memakai dana sendiri," ujar Dairoh.

Dairoh bahkan tidak mengetahui bahwa pelayanan KJS saat ini sudah langsung terintegrasi dengan JKN. Karena masih memegang kartu KJS, ia menganggap keluarganya masih terdaftar sebagai peserta KJS.

Sepekan sekali, dengan menumpang bajaj, Dairoh dan suaminya, Sodikin (66), selalu datang ke RSUD Tarakan. Kedatangannya itu untuk mengecek kesehatan Sodikin yang sudah beberapa tahun terakhir sakit jantung. Sodikin juga berencana menjalani operasi pemasangan ring di jantung. Saat ini, pemeriksaan intensif dilakukan sebelum operasi.

Kurang paham

Theryoto, Kepala Unit Pelaksana Teknis Jaminan Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan DKI, mengatakan, dengan sistem INA- CBG, pasien tidak seharusnya dibebankan biaya tindakan kesehatan ataupun obat. Sistem yang dimaksudkan Theryoto adalah biaya yang diatur peraturan Menteri Kesehatan dengan mengelompokkan tarif pelayanan kesehatan untuk suatu diagnosis dengan paket.

Pembiayaan dengan skema INA-CBG tersebut sudah menetapkan berapa jumlah yang harus ditanggung pemerintah untuk membiayai warga yang sakit. Jika rumah sakit tidak bisa melakukan efisiensi, maka biaya tambahan menjadi beban dari rumah sakit.

Menurut Theryoto, rumah sakit harus benar-benar memperhitungkan efisiensi saat menangani pasien. Soal jenis obat, lanjutnya, merupakan kewenangan dokter untuk memberikan obat jenis mahal dan murah kepada pasien. Saat biaya membengkak dan melebihi alokasi dari JKN, rumah sakit seharusnya mengusulkan ke Kementerian Kesehatan untuk menambah iuran dana yang ditanggung dalam program JKN.

"Sampai sekarang tampaknya sosialisasi mengenai JKN ini belum sepenuhnya dipahami masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya ada pasien yang terbebani biaya obat," ungkapnya.

Sementara itu, Koesmedi Priharto, Direktur RSUD Tarakan, mengakui masih ada kekurangan pelayanan dalam program JKN tersebut. Kendala utama adalah persoalan alokasi pembiayaan yang kurang tepat. Upaya perbaikan pelayanan kini dilakukan sembari menunggu aturan baru dari Kementerian Kesehatan.

Jumlah pasien JKN di RSUD Tarakan saat ini rata-rata 800-900 orang per hari. Sementara jumlah tempat tidur yang dimiliki rumah sakit 486 unit. Sebanyak 76 persen di antaranya digunakan oleh pasien kelas tiga. (A13)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com