JAKARTA, KOMPAS.com
- Satu tahun berlalu. Pengelolaan rumah susun sederhana sewa tak kunjung membaik. ”Aroma busuk” yang tercium nyaris sama, cerita tentang praktik tak terpuji, seperti alih sewa, penghunian ilegal, dan penguasaan mafia atas aset negara.

Di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda, pelanggaran itu kasatmata. Mahasiswa berseragam sekolah pelayaran keluar masuk rusun dengan leluasa melalui pos penjagaan. Mereka kebanyakan warga luar DKI Jakarta.

Tak hanya di Kluster A yang mayoritas dihuni sejak tahun 2008. Alih sewa juga terjadi di Kluster B yang baru dihuni sejak pemerintah merelokasi warga bantaran Waduk Pluit tahun lalu. Rusun atau toko di lantai dasar dipindahtangankan secara ilegal.

Praktik ”calo” juga terdengar dari sejumlah warga yang berharap bisa menghuni Rusunawa Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka mengaku dimintai uang masuk hingga jutaan rupiah oleh ”penguasa wilayah”.

Saat dijadikan lokasi pengungsian korban banjir Januari-Februari 2013, Rusunawa Waduk Pluit sejatinya belum diserahkan kontraktor kepada pemerintah daerah. Kepada warga korban banjir yang jumlahnya belasan ribu keluarga, pemerintah menjanjikan undian untuk bisa menghuni 400 unit Rusunawa Waduk Pluit. Nyatanya, tak ada undian.

Saat sejumlah warga menyatakan niat ikut undian, rusun disebut sudah penuh. Belakangan, mereka tahu bahwa sejumlah unit dikuasai preman. Para penguasa itu mensyaratkan sejumlah uang untuk menghuni rusun.

Durahman (52), warga RW 017, Penjaringan, mengaku diminta membayar Rp 20 juta. ”Saya sempat menawar Rp 5 juta, tetapi dia tak terima, tetap minta Rp 20 juta. Saya sudah lapor ke kelurahan dan kecamatan, tetapi upaya ini belum berhasil,” ujarnya.

Pemerintah berulang-ulang didorong untuk menjerat mafia secara hukum. Namun, seperti tahun lalu, masih saja ada alasan bahwa bukti tidak cukup kuat atau payung hukum belum jelas.

Warga miskin dan belum punya rumah seperti Durahman berharap pemerintah tegas. Mereka ingin aparat mengusir penghuni yang tak pantas itu. ”Masih banyak warga yang belum punya rumah, kok, seenaknya menguasai rusun untuk keuntungan sendiri,” kata Durahman.

Pinus Elok jadi contoh

Kasus jual beli unit rusunawa di Pinus Elok, Jakarta Timur, jadi contoh penataan hunian lewat jalur hukum. Indikasi pelanggaran pidananya lebih kuat dibandingkan dengan kasus pelanggaran perjanjian hunian di rusunawa lain. Bukti awal yang ditemukan petugas sudah mengarah ke tindak pidana.

Hal ini disampaikan Kepala Unit Pengelola Rusun Wilayah 3 Jakarta Timur Jefyodya Julian saat membahas penataan hunian itu, Kamis (27/2), di Jakarta. Di rusunawa itu ditemukan 44 unit yang diduga diperjualbelikan secara ilegal oleh jaringan calo. Warga mengaku dimintai uang Rp 12 juta oleh oknum aparat pemerintah.

”Dugaan ini bisa saja terjadi sebab sudah ada penghuni yang berani bicara soal itu. Kami akan melengkapi bukti-bukti awal sebelum meneruskan membawa kasus ini ke ranah hukum,” kata Jefyodya.

Adapun pelanggaran hukum yang disangkakan adalah penyerobotan aset negara secara ilegal. Laporan ini ditanggapi serius oleh pihak kepolisian. Hadir dalam pertemuan itu penyidik dari Polda Metro Jaya dan Badan Reserse Kriminal Polri.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menilai, karut-marut hunian rusunawa sangat serius. Basuki meyakini praktik ilegal ini melibatkan jaringan mafia yang telah bekerja bertahun-tahun.