Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cikal Bakal "Cabe-cabean" Sudah Ada sejak Tahun 2000

Kompas.com - 02/04/2014, 12:19 WIB
Agita Tarigan

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap bahwa fenomena "cabe-cabean" telah muncul di Indonesia sejak tahun 2000. Pada tahun tersebut, KPAI sudah mendapatkan laporan mengenai pekerja seks komersial usia anak.

Para pekerja tersebut masih berstatus sebagai murid sejumlah sekolah menengah atas. Namun, setelah sepuluh tahun berlalu, fenomena ini telah meluas pada tingkat sekolah menengah pertama.

Erlinda, Sekretaris KPAI, mengatakan, berkembangnya pekerja seks komersial pada usia anak karena belum ada hukuman yang memberi efek jera untuk "agen" yang memasarkan "cabe-cabe" tersebut.

Seharusnya, kata Erlinda, para agen ini dikenakan pasal berlapis bila terbukti menyalurkan pekerja seks komersial di bawah 18 tahun untuk melakukan tindakan asusila.

"Mereka (agen) bisa dijerat dengan dua hingga tiga pasal," kata Erlinda kepada Kompas.com, Rabu (2/4/2014).

Erlinda mengatakan, di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, terdapat hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang merugikan anak.

Dalam kasus "cabe-cabean", yang bertindak sebagai penyalur, seperti pacar atau orang yang menawarkan mereka kepada pelanggan, dapat dipastikan bakal dijerat Undang-Undang Nomor 23 Pasal 78 dan 82 berdasarkan UU Perlindungan Anak.

Pasal 78 berarti telah sengaja melakukan eksploitasi anak, dan Pasal 82 yang berarti menyebabkan pencabulan terhadap anak.

Selain itu, bila korban mengalami pemerkosaan ketika melayani pelanggan, agen yang terlibat juga dapat dikenai Pasal 81 yang berarti dengan sengaja ikut menyebabkan tindak pemerkosaan pada anak di bawah umur. Pelaku yang dikenakan tiga pasal tersebut akan mendapat hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Menurut Erlinda, hukuman 15 tahun dikenakan apabila pelaku bukan orangtua korban. Namun, bila pelaku merupakan orangtua korban, hukuman akan dinaikkan sebanyak satu perempat persen dari hukuman semula sehingga menjadi 20 tahun penjara. Selain itu, pelaku juga dikenakan denda sebesar 300 juta rupiah.

Erlinda menambahkan, pelaku yang masih berada pada usia anak dan sudah di atas dua belas tahun wajib mengikuti proses hukum. Namun, bagi pelaku yang berada pada usia anak, tetapi belum memasuki dua belas tahun, akan dikenai Restorasi Justice, yaitu dikembalikan kepada orangtuanya dan dimasukkan ke tempat rehabilitasi anak untuk bekerja di tempat-tempat sosial.

Erlinda mengatakan, KPAI sering menemukan pelaku yang hanya dijatuhi hukuman selama beberapa bulan penjara. Hal ini terjadi karena para penindak hukum sering tak menggunakan UU Perlindungan Anak dalam beberapa kasus yang melibatkan anak, tetapi menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukuman ringan tersebut dikawatirkan tak memberikan efek jera dan dapat membuat pelaku mengulangi perbuatannya tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Bekerja Sebagai Pengajar di Kampus Jakarta

Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Bekerja Sebagai Pengajar di Kampus Jakarta

Megapolitan
Bentuk Unit Siaga SAR di Kota Bogor, Basarnas: Untuk Meningkatkan Kecepatan Proses Penyelamatan

Bentuk Unit Siaga SAR di Kota Bogor, Basarnas: Untuk Meningkatkan Kecepatan Proses Penyelamatan

Megapolitan
Aksi Pencurian Kotak Amal di Mushala Sunter Terekam CCTV

Aksi Pencurian Kotak Amal di Mushala Sunter Terekam CCTV

Megapolitan
Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Megapolitan
Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko 'Saudara Frame': Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko "Saudara Frame": Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Megapolitan
Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Megapolitan
Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Megapolitan
Massa Pendukung Prabowo-Gibran Juga Demo di Patung Kuda, tapi Beberapa Orang Tak Tahu Isi Tuntutan

Massa Pendukung Prabowo-Gibran Juga Demo di Patung Kuda, tapi Beberapa Orang Tak Tahu Isi Tuntutan

Megapolitan
DPC PDI-P: Banyak Kader yang Minder Maju Pilwalkot Bogor 2024

DPC PDI-P: Banyak Kader yang Minder Maju Pilwalkot Bogor 2024

Megapolitan
Siswa SMP di Palmerah Sempat Cekcok dengan Kakak Sebelum Gantung Diri

Siswa SMP di Palmerah Sempat Cekcok dengan Kakak Sebelum Gantung Diri

Megapolitan
Salah Satu Korban Tewas Kebakaran Toko Bingkai 'Saudara Frame' adalah ART Infal yang Bekerja hingga 20 April

Salah Satu Korban Tewas Kebakaran Toko Bingkai "Saudara Frame" adalah ART Infal yang Bekerja hingga 20 April

Megapolitan
Saat Toko 'Saudara Frame' Terbakar, Saksi Dengar Teriakan Minta Tolong dari Lantai Atas

Saat Toko "Saudara Frame" Terbakar, Saksi Dengar Teriakan Minta Tolong dari Lantai Atas

Megapolitan
9 Orang Ambil Formulir Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

9 Orang Ambil Formulir Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
Minta Polisi Periksa Riwayat Pelanggaran Hukum Sopir Fortuner Arogan Berpelat Dinas TNI, Pakar: Agar Jera

Minta Polisi Periksa Riwayat Pelanggaran Hukum Sopir Fortuner Arogan Berpelat Dinas TNI, Pakar: Agar Jera

Megapolitan
Diwarnai Aksi Lempar Botol dan Batu, Unjuk Rasa di Patung Kuda Dijaga Ketat Polisi

Diwarnai Aksi Lempar Botol dan Batu, Unjuk Rasa di Patung Kuda Dijaga Ketat Polisi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com