Roy mencontohkan, rendahnya serapan anggaran yang dicapai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan unit kerja perangkat daerah (UKPD) hingga pertengahan tahun ini merupakan salah satu dampak tidak fokusnya Jokowi. Sampai 11 April 2014 lalu, penyerapan anggaran baru 8 persen dari total anggaran Rp 72 triliun.
"(Pencapresannya) tentu berpengaruh pada realisasi program Pemprov DKI," kata Roy kepada wartawan di Jakarta, Kamis (17/4/2014).
Akademisi Universitas Indonesia itu menjelaskan, publik masih dapat menerima jika dua bulan pertama tahun anggaran belum ada realisasi program yang terlihat di lapangan. Namun, saat telah memasuki pertengahan tahun, yakni pada April atau Mei, masyarakat mulai bertanya-tanya mengenai realisasi program kerja yang terdapat di lapangan, yakni penanggulangan banjir, pengerukan sungai, pembangunan dan perbaikan jalan, revitalisasi rumah susun, pembangunan kampung deret, dan lainnya.
Sekadar informasi, pada 8 April 2014 lalu, penyerapan anggaran SKPD dan UKPD baru 4,56 persen. Padahal, untuk periode yang sama pada tahun sebelumnya, lanjut dia, penyerapan anggaran DKI mencapai 5 persen.
Menurut Roy, anggaran dapat diserap secara optimal apabila mendapat kontrol yang baik dan tegas dari pemimpin, dalam hal ini gubernur, serta perencanaan yang matang dari SKPD dan UKPD.
Setelah DPRD DKI mengesahkan APBD, menteri dalam negeri (mendagri) akan mengoreksi program kerja dalam anggaran tersebut. Apabila SKPD dan UKPD telah membuat detail rencana program yang akan dikerjakan tiap tahunnya, maka realisasi program unggulan cepat terlaksana.
"Jadi, kalau sudah mendapat rekomendasi dari mendagri, SKPD bisa langsung kerja dan tidak memakan waktu yang lama. Kalau sekarang kontrolnya saja sudah berkurang, serapan anggaran semakin tidak optimal," kata dia.
Selain berdampak pada rendahnya serapan anggaran, pencapresan Jokowi juga berdampak pada tertundanya beberapa agenda pemerintahan. Sebab, Roy memandang, Jokowi tak jarang menghadiri kegiatan politik saat jam kerja gubernur. Maka dari itu, sejumlah agenda pemerintahan, antara lain agenda rapat koordinasi (rakor) dengan kepala SKPD, menjadi tertunda.
Setiap rakor, kata dia, akan menghasilkan keputusan untuk kebijakan strategis. Apabila tidak ada pemimpin yang memimpin rakor tersebut, maka keputusan tertunda.
"Tujuannya, keputusan itu akan dituangkan dalam beberapa produk hukum, seperti surat keputusan (SK) ataupun peraturan gubernur (pergub)," ujar Roy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.