JAKARTA, KOMPAS.com - Wajah Mustofa dan tiga rekan pengemudi bajaj lain yang mangkal di salah satu ruas Jalan KH Moch Mansyur, Tambora, Jakarta Barat, Rabu (23/4) siang itu, cerah. Hari itu mereka bakal mengantar bermacam perabot plastik rumah tangga pelanggan ke kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

”Biasanya sebulan dua kali dia belanja ke sini. Ongkos setiap bajaj Rp 150.000,” ucapnya sambil menyeka peluh. Tak berapa lama datang pekerja dengan lori, membawa bermacam perabot dalam karung berukuran besar. Mustofa, Zaenal (29), Jaya (37), dan Sukarso (47) lantas sibuk menaikkan dan menata barang dalam jumlah grosir itu ke keempat bajaj.

Bergantian mereka menjelaskan, nilai total barang yang dibeli pelanggan mereka umumnya Rp 15 juta dengan berat sampai empat kuintal, bahkan kadang lebih. Jarak yang ditempuh pengemudi bajaj ini pun bisa sampai Bogor!

”Kalau ke Bogor, tarifnya Rp 300.000. Waktu tempuh 1,5 sampai dua jam. Ke Tambun (Bekasi) Rp 220.000,” ungkap Jaya.

”Kalau ke Depok Rp 150.000-Rp 250.000; ke Serpong Rp 120.000; ke Cakung, Jakarta Utara, atau Jakarta Timur Rp 170.000; ke Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rp 100.000; atau ke Pulogadung atau ke Jatinegara, Jakarta Timur, Rp 80.000 sampai Rp 100.000,” ujar Zaenal.

Bajaj, menurut Zaenal, paling sering rewel di bagian kaki-kaki (roda) saat membawa beban banyak dan berat. ”Repotnya kalau ban copot. Tapi, kan, kami bawa dongkrak dan ban serep. Teman-teman di pangkalan ini selalu bawa perlengkapan lebih banyak,” ucap Zaenal.

Ia mengaku, saat mengantar barang pelanggan ke Pulogadung di sekitar Patung Kuda di Jakarta Pusat, salah satu ban copot. Beruntung barang bawaan tidak berjatuhan di jalan.   

”Kalau ingat kejadian itu, saya ketawa sendiri,” ujar Zaenal.

Sopir bajaj itu menjelaskan, umumnya pelanggan berbelanja pukul 14.00. Sejam kemudian, barang yang dibeli sudah di antar dengan lori ke pangkalan bajaj. Tak berapa lama, pelanggan memeriksa barang bawaan dan pulang dengan sepeda motor atau kendaraan umum.

”Biasanya gitu. Nggak pake dikawal-kawal segala. Antara kami dan mereka sudah saling percaya,” tutur Jaya.

Menurut Sukarso, satu dari tiga perintis pangkalan bajaj di situ, usaha pengemudi bajaj berjaya tahun 1991-1995.

”Sewa bajaj dan bensin masih murah. Total cuma Rp 100.000. Penghasilan bersih sehari Rp 150.000. Ketika itu, harga emas per gram cuma Rp 12.000,” tutur Sukarso yang mulai mangkal di situ sejak tahun 1989 bersama dua rekannya, almarhum Darwin dan Si Boneng.

Kian lama, lanjut pria Brebes yang akrab dipanggil Si Gendut itu, jumlah pelanggan berkurang sebab pelanggan kemudian mampu membeli sepeda motor atau mobil bak sendiri.

Pedagang eceran, Rizki (40), mengatakan, sejak punya sepeda motor dari hasil dagang, kadang dirinya membawa barang belanjaan dengan sepeda motor.

”Kadang masih juga bawa barang pakai bajaj,” ujar pria asal Purwokerto, Jawa Tengah, yang punya toko kecil di sebuah pasar di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu.