Ia menjelaskan, sebelum reformasi, partai politik berlomba-lomba menjaring suara rakyat agar kadernya dapat terpilih menjadi anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah. Dengan alasan, para anggota legislatif itu dapat mewakili rakyat dalam pemilihan kepala negara serta kepala daerah. Kemudian, pada tahun 1998, masyarakat Indonesia sadar dan berontak bahwa legislatif yang mengatasnamakan "wakil rakyat" itu tidak betul-betul mewakili suara rakyat.
Oleh karena itu, masyarakat dan mahasiswa memberontak dan mengusung gerakan reformasi. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengesahkan pemilihan kepala negara dan daerah oleh rakyat. Dengan demikian, berdasarkan konstitusi, sila keempat itu keterwakilan rakyat adalah kepala negara dan kepala daerah yang dipilih langsung.
"Secara konstitusi, sila keempat Pancasila itu musyawarah mufakat keterwakilan, rakyat yang memilih langsung wakilnya, bukan melalui segelintir elite partai," ujar Basuki.
Apabila seluruh kepala daerah dipilih oleh parpol, artinya, nasib negara hanya diwakilkan beberapa orang. Menurut dia, apabila provinsi dibangun dengan sistem tersebut akan sangat berbahaya.
"Ketika ada reformasi, rakyat merasa kalau keterwakilan versi seperti itu (dipilih DPRD), ya kita dinilai menjadi kepala daerah lewat calo," kata Basuki.
Basuki mundur dari Partai Gerindra karena berbeda pandangan tentang RUU Pilkada. Ia tak sepaham jika sila keempat Pancasila, yakni Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dijadikan alasan Gerindra serta parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih untuk menyepakati pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.