Gara-gara wacana itu, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, sebelum keberangkatannya ke Arab Saudi untuk ibadah haji, jadi agak kewalahan mengklarifikasi lewat kicauan di akun Twitter. ”Bukan Plat B dilarang masuk Bogor, tapi ke depan transportasi publik dibenahi agar nyaman bagi tamu Kota,” katanya dalam @BimaAryaS.
Masih gara-gara wacana itu, diskusi komunitas di dunia maya pun menjadi liar. Wacana larangan mobil pelat B masuk Kota Bogor dinilai sebagai blunder Pemerintah Kota Bogor jika diwujudkan.
Tanggapan masyarakat di dunia maya dan yang ditemui pada Rabu pun beragam, bernas, lantang, bahkan menggelitik. Misalnya, yang mendukung mengatakan, larangan itu untuk memberi pelajaran pelancong yang doyan memakai mobil pelat B. Padahal, mungkin hampir separuh dari 350.000 kendaraan yang tercatat di Kota Bogor adalah pelat B. Yang menolak, misalnya, bilang, mobil pelat B dilarang masuk Kota Bogor perlu dibalas dengan larangan air Ciliwung masuk Jakarta. Nah, lho.
Sebenarnya, wacana itu terkait pemikiran Bima yang melihat betapa macetnya Kota Bogor saat akhir pekan dan libur hari raya. Tebersit pemikiran bagaimana jika wisatawan tidak perlu membawa kendaraan pribadi, tetapi tetap bisa masuk Kota Bogor. Nah, kendaraan itu cukup diparkir dengan biaya amat tinggi di pinggir ”Kota Hujan” di wilayah Kabupaten Bogor. Untuk masuk Kota Bogor, wisatawan dapat memakai angkutan umum.
Wakil Wali Kota Bogor Usmar Hariman mengatakan, ide itu bisa diwujudkan jika ketersediaan angkutan umum sudah mantap.
Memang, saat libur, kendaraan yang lalu lalang dan dinilai bikin macet Kota Bogor sebagian besar berpelat B. Padahal, harus diteliti lebih jauh apakah itu kendaraan milik warga Bogor atau bukan.
Separuh dari populasi Kota Bogor yang 1 juta jiwa adalah komuter atau bekerja di Jadetabek, tetapi tinggal di Bogor. Sudah jadi kelaziman bahwa mobil orang Bogor tidak sekadar berpelat F, tetapi juga berpelat B (Jakarta).
Nah, melarang masuknya mobil pelat B ke Kota Bogor sama saja dengan melarang wisatawan datang. Saat libur, Kota Bogor didatangi sekitar 100.000 wisatawan. Lebih dari 50.000 orang datang naik angkutan umum (kereta rel listrik, bus, taksi, atau minibus). Jumlah yang hampir sama, wisatawan menggunakan kendaraan pribadi.
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Alvinsyah, mengatakan, pembelokan wacana seperti larangan mobil pelat B masuk Kota Bogor, jika dilihat dari sisi positif adalah membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa kemacetan di Jabodetabek sudah amat parah.
Untuk mengatasinya, pemerintah harus segera menggenjot pengadaan angkutan umum. Program yang ada harus segera diwujudkan. Misalnya, penataan kembali trayek, perubahan status kepemilikan kendaraan umum, sertifikasi sopir angkutan kota, penambahan bus, dan pembatasan kendaraan melewati jalan tertentu. ”Kan, katanya, kemacetan itu berawal dari kemudahan manusia berkendara. Dengan demikian, kemudahan harus dicegah. Bagaimana jika di seluruh wilayah Kota Bogor tidak ada lahan parkir kendaraan pribadi,” katanya.
Ketiadaan lahan parkir akan memaksa orang untuk memakai angkutan umum. Nah, saat itulah, angkutan umum yang dioperasikan harus nyaman, aman, mudah, murah, rutin, tepat waktu, dan andal. (Ambrosius Harto)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.