"Pasal 285 KUHP berasal dari KUHP Belanda. Itu pasal yang usang, ketinggalan zaman. UU pidana di negara lain, rape itu tidak hanya pada bukti fisik," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, Kamis (18/9/2014).
Topo berbicara dalam diskusi akademik terkait terobosan hukum untuk perkara dugaan pemerkosaan Sitok kepada RW, mahasiswi UI. Pasal 285 adalah delik yang dipakai polisi untuk penyidikan perkara ini.
Sebagai contoh, Topo menjabarkan definisi kekerasan yang oleh hukum Indonesia diartikan sebagai adanya luka atau bekas kekerasan fisik lain. Di negara lain, kata dia, kekerasan sudah memiliki definisi lebih luas, termasuk sex without consent.
"Bila tidak ada persetujuan dari pihak perempuan, hubungan seks tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan," papar Topo.
Relasi kuasa yang timpang
Senada dengan Topo, Guru Besar Fakultas Psikologi UI Sulistyowati Irianto menegaskan Pasal 285 KUHP harus dimaknai lebih luas.
"Kekerasan bisa juga dalam bentuk sikap membangun citra hebat, pintar, bijaksana, untuk kemudian bisa menguasai mahasiswi. Ada relasi kuasa yang timpang," tegas Sulistyowati.
Relasi kuasa yang timpang, lanjut Sulistyowati, membuat Sitok dapat memerintah, membujuk, dan menyarankan RW melakukan tindakan tertentu, termasuk berkali-kali melakukan hubungan seks.
Sebelumnya diberitakan, RW melaporkan Sitok yang telah menghamilinya, ke Polda Metro Jaya pada November 2013. Polisi sempat menyatakan bukti untuk perkara ini lemah karena hubungan seksual telah terjadi berkali-kali hingga RW hamil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.