Undangan untuk menerima bantuan pemerintah pusat itu diterima Nio, Sabtu pekan lalu, dalam amplop coklat yang dikirim PT Pos Indonesia. Sebelum itu, ada petugas verifikasi datang ke rumah. Namun, Nio tidak pernah mendaftar untuk ikut program ini.
Untuk mendapatkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), penerima undangan harus membawa identitas serta Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KPS merupakan kartu yang diterbitkan pemerintah periode sebelumnya dan ditandatangani Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana.
”Dulu saya juga dapat uang dengan menunjukkan KPS. Tetapi, beberapa waktu ini tak dapat lagi,” kata Nio, warga Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, itu.
Sekarang, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, masyarakat berpenghasilan rendah kembali mendapatkan bantuan. Hanya programnya bersalin nama menjadi KKS dan KIS.
Sementara anak sekolah yang berasal dari keluarga tak mampu mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Anak bungsu Nio yang masih kelas III SMA mendapatkan KIP.
KIP ini ia rasakan sangat bermanfaat karena Nio masih harus membiayai anak keduanya yang masih kuliah keperawatan.
Nio dan suaminya, Hasanudin, bahkan terpaksa menjual rumah mereka di Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk membayar uang masuk kuliah Rp 14 juta dan uang kuliah Rp 7 juta per semester bagi anak keduanya itu. Pemerintah memang tak menanggung biaya kuliah anak dari keluarga tidak mampu.
Pendapatan Hasanudin sebagai petugas keamanan yang hanya Rp 300.000 per bulan jauh dari cukup untuk kebutuhan harian. Bagi warga seperti Nio, persoalan ganti nama untuk program bantuan pemerintah ini tak terlalu penting. Mengapa jumlahnya Rp 400.000, dia juga tak tahu dasar perhitungannya.
Yang dia tahu, dia kembali mendapatkan uang tunai dari pemerintah. Uang ini akan dipakai Nio untuk membayar uang kuliah anak keduanya.
Bantuan ini juga membuat wajah Haryanto cerah. Uang bantuan yang ia dapat sudah diserahkan kepada istrinya, Tijah. Bagi ketua RT di salah satu kelurahan di Pasar Baru itu, uang Rp 400.000 membantu kehidupan sehari-harinya.
Namun, Haryanto juga kebagian getahnya. ”Kalau bagi-bagi bantuan kayak gini, ketua RT sering dikomplain warga yang enggak dapat bantuan. Padahal, saya juga enggak tahu bagaimana prosesnya. Tahu-tahu, saya dapat saja,” katanya.
Haryanto mengusulkan pemerintah melibatkan ketua RT setempat untuk menjalankan program ini. ”Minimal kami diajak bicara, ngasih masukan juga, mana warga yang berhak
dan yang tidak. Tetapi, jangan semua proses milih warga dikasihkan kepada ketua RT. Ada juga ketua RT yang bandel. Takutnya nanti malah koncoisme,” ucap Haryanto.
Ditolak
Sebaliknya, Dami (44), warga Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pupus harapannya untuk memperoleh dana bantuan KKS. Ia ditolak petugas Kantor Pos Jakarta Timur di Jalan Pemuda, Selasa, karena tak mendapat undangan. Padahal, Dami yang hidup dari bertani daun kemang ini juga memegang KPS sebagai syarat utama penerima KKS.
Dami memperoleh informasi pendistribusian KKS dari iklan layanan masyarakat di televisi. Dalam iklan itu, setiap pemilik KPS dapat menukarkan kartu itu dengan KKS di kantor pos.