Calon penumpang bergegas berdiri di depan pintu selter menunggu kedatangan ”ulat bulu merah” itu. Namun, ternyata bus tidak berhenti, tetap melaju dalam kondisi kosong.
Berselang waktu 20 menit, datang bus tunggal transjakarta rekondisi jurusan Grogol-Pinang Ranti. Lumayan untuk ukuran sebuah bus kota di Ibu Kota ini jika tidak ingin dibilang jelek. Saat itu ”perut” bus sudah disesaki oleh penumpang yang umumnya para pekerja pusat perbelanjaan. Wajah mereka terlihat kusut dan loyo.
Begitu pintu ditutup, sopir langsung tancap gas. Tak peduli penumpang di dalam berantakan bak kertas arisan yang dikocok dalam gelas, terbanting ke kanan dan ke kiri. Sementara itu, ruangan bus terasa pengap oleh panasnya udara mesin yang masuk ke dalam kabin. Pendingin ruangan yang ada di dalam bus hanya mengeluarkan angin. Guncangan kian keras ketika bus masuk ke jalan khusus yang tidak mulus.
Begitu mendekati Selter Semanggi, laju bus nyaris tak berkurang. Pedal rem baru ditekan pak sopir ketika jarak bus ke selter tinggal 25 meter. Mudah ditebak penumpang nyaris terjungkal jika tak berpegangan pada besi pengait yang ada. Begitu penumpang di Selter Semanggi naik, sopir kembali tancap gas. Perilaku sopir tak berubah hingga mendekati selter terakhir Pinang Ranti, Jakarta Timur, sekitar pukul 23.00.
Para penumpang ”bus malam” itu nasibnya tak ubahnya seperti barang. Sopir tak peduli penumpang nyaman atau tidak, selamat atau tidak yang penting sampai ke selter.
Milik pribadi
Seperti itulah wajah transportasi publik di Ibu Kota. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, saat di Surabaya, Senin (24/11/2014), tak menampik realitas itu. Menurut Jonan, selama kepemilikan transportasi publik berada di tangan pribadi-pribadi, sulit untuk membangun sistem transportasi terintegrasi yang andal.
Moda transportasi kota dipastikan tetap rentan terhadap standar keselamatan dan layanan publik yang baik. ”Selain itu kepentingannya satu sama lain tidak sama. Sedihnya kenapa bemo, mikrolet, oleh pemda kok dibiarkan jalan, padahal kondisinya sudah rusak?”
”Saya sedang cari cara agar di seluruh Indonesia standarnya naik karena seharusnya standar keselamatan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemilik angkutan umum sama di seluruh Indonesia. Namun, kan tidak, bahkan terminalnya pun tidak standar, kotor, dan tidak nyaman,” kata Jonan.
Padahal, di mana pun di dunia, standar terminal itu harus bersih, kendaraan umum harus berpendingin udara, dan pintu kendaraan tertutup saat berjalan demi keselamatan. Kenyataan di Jakarta tidak. Bahkan, pengemudinya pun merokok saat mengemudi tak peduli penumpangnya terganggu asap rokok.
Jonan berharap, DKI Jakarta memberikan contoh yang baik soal standar pelayanan dan keselamatan. Jika semua standar itu terpenuhi, masyarakat tak akan keberatan jika tarif naik. Jika memang pemilik kendaraan sulit untuk melakukan pembiayaan guna mencapai standar keselamatan dan pelayanan yang baik, Pemerintah DKI harus memberikan pinjaman melalui Bank DKI dengan bunga normal.
”Tren owner operator untuk sekarang ini sudah tak mungkin. Bayangkan kalau dia hanya punya satu kendaraan dan kendaraannya tidak jalan, dia tidak makan. Jadi, kalau ada kerusakan, tidak akan diperbaiki oleh pemiliknya karena takut tidak jalan. Akibatnya membahayakan keamanan,” katanya.
Makanya, pengusaha-pengusaha ini harus bersatu, membuat koperasi atau badan usaha. Jika badan itu punya 100 kendaraan, saat 20 bus tidak beroperasi karena masa perawatan, tak akan mengganggu operasi keseluruhan.
Bukan hal gampang mengatasi masalah itu, tambah Jonan. Harus ada pemahaman dan cara pandang yang sama. Pesan dari Pak Menteri Jonan buat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama: DKI harus bisa menjadi contoh. Penumpang bukan barang, Pak! (Banu Astono dan M Clara Wresti)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.