Rania Fitria (7) meluncur di lorong lantai 18 menara apartemen tempat ia tinggal bersama kedua orangtuanya. Sang ibu, Leyla (40), mengawasi anak pertamanya itu sambil berdiri di depan pintu. Sepatu merah muda bergambar tokoh kartun Princess dengan roda kecil di bagian bawah membuat kedua kakinya mengayun dengan ringan, seakan berseluncur di atas lantai.
Ber-”sepatu roda” di lorong apartemen selebar 1 meter ini menjadi salah satu kegiatan bermain Rania. Di saat lain, bukan sepatu roda, melainkan sudah berganti sepeda kecil.
Tinggal di apartemen memaksa penghuni melakukan penyesuaian, seperti soal ruang bermain tadi. Belum lagi penyiasatan ruang yang sempit dan yang terutama, hubungan sosial antar-penghuni.
Nyaman, aman
Tinggal di apartemen, bagi sebagian orang, boleh jadi merupakan pilihan sadar penghuninya untuk mencari privasi kehidupan, selain soal lokasi yang dekat dengan pusat aktivitas di tengah kota sehingga bisa meminimalkan bertemu kemacetan. Namun, ada juga yang merupakan pilihan ”terpaksa” karena keterbatasan kemampuan dana membeli rumah tapak atau landed house di Jakarta.
”Apartemen ini harganya Rp 150 juta. Uang segitu mana dapat dibelikan rumah di Jakarta, paling dapatnya di pinggiran, seperti Depok, Bekasi, atau Tangerang. Di pinggiran pun sekarang sudah mahal dan kami menghindarinya karena jauh dari tempat kerja di Jakarta. Meskipun apartemen sempit, yang penting di pusat kota,” ungkap Leyla yang tinggal di unit berukuran 30 meter persegi dengan dua kamar.
Leyla dan suami memutuskan tinggal di apartemen pada tahun 2011 setelah 4,5 tahun tinggal bersama orangtua suami di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Apartemen di sebuah kawasan di Kalibata, Jakarta Selatan, lantas menjadi pilihan karena dekat dengan kantor suami dan rumah mertua.
Jika pekerjaan sedang tidak menumpuk, suami Leyla sudah sampai rumah pukul 17.00 karena perjalanan dari kantor ke apartemen dengan bermotor hanya 15 menit. Sementara jika tinggal di pinggiran Jakarta, kemungkinan baru tiba di rumah di atas pukul 19.00.
”Semasa masih bekerja, saya jarang bergaul karena waktu habis untuk bekerja. Setelah punya anak dan berhenti kerja, saya sering ke taman untuk membawa anak bermain atau ke masjid ikut TPA (taman pendidikan Al Quran). Dari situ saya mulai akrab dengan penghuni lain. Kalau dulu, hanya sekadar kenal,” ujar Leyla.
Belakangan muncul Friday Fun Club (FFC) yang digagas Fitriah Dwi Astuti (30) yang juga penggagas TPA di kawasan apartemen itu. Leyla dan anaknya bergabung di dalamnya. Kegiatan ini melibatkan ibu dan anak-anak.
”Ketika harus tinggal di apartemen, saya sempat khawatir, nanti anak saya main sama siapa. Saya berusaha ’menciptakan’ teman untuk anak saya dengan mengajak ibu-ibu lain mendirikan TPA dan FFC. Daripada anak hanya main sendirian di dalam apartemen,” kata Fitriah.
Artis Melissa Karim (36) sejak menikah lima tahun lalu juga memilih tinggal di apartemen. Pertimbangannya, mobilitasnya sangat tinggi dan ia mencari kepraktisan hidup dan tempat yang dipercaya keamanannya. ”Aku gampang ke mana-mana karena apartemenku di pusat kota. Jadi tektok-tektok, mondar-mandirnya gampang. Apalagi aku punya anak yang terkadang harus ditinggal lama untuk kerja. Sistem keamanan yang tidak memungkinkan non-pemilik bisa masuk unit apartemen bikin aku enggak terlalu khawatir,” kata Melissa yang tinggal di sebuah apartemen di Jakarta Pusat.
Menurut Melissa, ia sangat nyaman dengan model kehidupan di apartemen karena privasi terjaga. Ia mengaku mengenal tetangga kanan dan kiri serta beberapa orang lain sesama penghuni apartemen, tetapi tidak akrab. Mereka dikenalnya ketika sama-sama di gym atau saat di kolam renang yang menjadi fasilitas apartemen.
”Saya dan suami, kan, sibuk kerja, jarang di rumah (apartemen). Jadi kami lebih banyak bergaul dengan teman di luar. Hidup di apartemen lebih nyaman karena enggak perlu mikir gosip tetangga,” kata istri dari presenter berita televisi Ralph Tampubolon ini.