JAKARTA, KOMPAS.com Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mendirikan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki pada 10 November 1968 merupakan terobosan luar biasa. Para seniman dan budayawan yang waktu itu kesulitan mencari panggung berekspresi akhirnya mendapat oase kesejukan. Di sana, mereka menemukan ruang budaya yang semakin langka di tengah hegemoni kapitalisme Ibu Kota.

Budayawan Mudji Sutrisno SJ, Kamis (8/1), di Jakarta, menceritakan, memasuki era 1970-an, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) berkembang pesat sebagai pusat seni budaya yang tak hanya berskala daerah, tetapi juga berskala nasional. Kawasan seluas 9 hektar itu menjadi semacam laboratorium seni budaya yang dimanfaatkan seniman dan budayawan dari seluruh penjuru Indonesia.

”Ada nilai kultural di balik keberadaan PKJ TIM. Artinya, PKJ TIM tidak bisa semata-mata dilihat secara bendawi sebagai potensi ekonomi saja. Ini yang perlu diwaspadai dari pembentukan Unit Pengelola PKJ TIM oleh Pemprov DKI Jakarta saat ini,” ujar Mudji.

Peran Ali Sadikin

Keberpihakan Ali Sadikin terhadap dunia seni budaya 47 tahun lalu sangat diapresiasi para seniman dan budayawan. Gaung kebijakan Ali Sadikin waktu itu tak hanya berimbas di lingkup Jakarta, tetapi juga merambah hingga ke daerah. Sejak saat itu, para seniman dari pelosok Nusantara pun bergantian hijrah ke Ibu Kota memanggungkan karya-karya mereka.

Pendirian PKJ TIM kala itu menjadi euforia. Sebelum PKJ TIM berdiri dan pusat-pusat kebudayaan bermunculan, para seniman dan budayawan memanfaatkan Balai Budaya yang sempit dan reyot di Jalan Gereja Theresia 47, Jakarta Pusat, sebagai tempat berkumpul serta berkarya. Para seniman itu, antara lain, adalah Affandi, Sudjojono, Chairil Anwar, WS Rendra, Teguh Karya, dan Putu Wijaya.

”Di Balai Budaya, para seniman mulai menggelar rapat untuk perencanaan pembangunan TIM,” kata pelukis Sri Warso Wahono.

Pelukis Syahnagra Ismail yang pada tahun 1992 sempat berkeliling melukis di sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, Denmark, Swedia, dan Perancis, mengungkapkan, gaung kiprah PKJ TIM sebagai pusat seni budaya di Indonesia dikenal pula oleh para seniman di Eropa.

”Setiap kali saya singgah di negara-negara tersebut, para seniman asing selalu bertanya tentang PKJ TIM,” katanya.

Jangan melunturkan

Berangkat dari sejarah kultural PKJ TIM yang kuat tersebut, para seniman dan budayawan berharap kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 109 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola PKJ TIM tidak melunturkan esensi kultural tempat bersejarah ini.

Kekhawatiran ini beralasan karena terbentuknya unit pengelola di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta mau tidak mau aspek-aspek birokrasi prosedural akan berlaku di PKJ TIM.

”Jika tidak hati-hati, unit pengelola akan menjadi birokrat kapitalistik yang sewaktu-waktu bisa menjual TIM untuk kepentingan ekonomis semata. Padahal, ada unsur kultural nonbendawi di sana,” kata Mudji.

Menanggapi keresahan para pelaku budaya, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Kebudayaan dan Pariwisata Sylviana Murni menjelaskan, pembentukan unit pengelola semata-mata hal prosedural agar administrasi PKJ TIM sesuai dengan aturan. Adapun pengelolaan PKJ TIM tetap akan melibatkan seniman dan budayawan seperti yang selama ini berjalan. ()