KOMPAS.com- Angin semilir menerpa tepi Waduk Ria Rio di kawasan Pulomas, Jakarta Timur, Sabtu (10/1) siang. Berdiri di atas rumput taman, Ivan Hartanto (18) memandang sisi terjauh waduk. ”Selatan waduk ini sudah bagus ada tamannya, tetapi sayang di sisi utara masih ada permukiman kumuh,” ujarnya.

Setelah dibenahi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tepi Waduk Ria Rio di sisi selatan memang berganti rupa menjadi taman kota yang dapat digunakan sebagai ruang publik. Namun, sisi utara waduk masih berupa hamparan lahan kosong diapit permukiman kumuh.

Ivan adalah salah satu peserta survei komunitas Peta Hijau Jakarta (Jakarta Green Map) untuk memetakan Waduk Ria Rio. Kegiatan ini bagian dari program pemetaan situ dan waduk di seluruh Jakarta.

”Dengan ikut kegiatan survei ini, saya jadi tahu masalah apa saja yang ada di waduk ini. Ternyata lebih kompleks dibanding yang disiarkan di televisi,” kata mahasiswa Teknik Lingkungan Surya University tersebut.

Tidak hanya Ivan, terdapat 16 mahasiswa lain dari berbagai kampus, seperti Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Jakarta, dan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang juga turut serta survei. Mereka mendapat informasi dari relawan Peta Hijau Jakarta melalui situs jejaring sosial Twitter.

”Kebetulan survei waduk ini masih berkaitan dengan mata kuliah di jurusan saya. Jadi saya tertarik untuk ikut,” kata Yessica (19), rekan satu kampus Ivan di Teknik Lingkungan Surya University.

Shinta Idriyanti, relawan Peta Hijau Jakarta, menambahkan, pemetaan Waduk Ria Rio merupakan yang pertama dari program pemetaan situ dan waduk di Jakarta. Waduk dan situ lain yang akan disurvei adalah Waduk Pluit, Danau Kota Srengseng, Situ Ragunan, dan Waduk Setiabudi. Selain itu, para relawan juga akan menelusuri Sungai Ciliwung dan Pesanggrahan untuk melengkapi survei itu.

”Dalam survei ini kita tidak hanya melihat fungsi dan kondisi fisik waduk, tetapi juga memetakan infrastruktur yang tersedia, kondisi sosial masyarakat sekitar waduk dan permasalahannya,” ucap Shinta.

Pemetaan masalah

Lewat pemetaan semacam ini, Shinta mengakui, persoalan di waduk dapat teridentifikasi dengan lebih detail. Di Waduk Ria Rio, misalnya, mereka mendapati adanya panel dan dinamo yang rusak di Stasiun Pompa Waduk Pulomas, sampah yang berserakan di sekitar waduk, dan air di saluran drainase berwarna hitam pekat yang kemudian dibuang ke waduk.

”Dari pengakuan warga, waduk ini hanya sedalam 3 meter. Dua meter berisi lumpur dan 1 meter lagi kedalaman air. Berarti ada pendangkalan,” tutur Shinta.

Kondisi ini, lanjutnya, tidak hanya tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi juga masyarakat. Untuk itu, Peta Hijau Jakarta mendorong munculnya waduk dan situ yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sehingga muncul rasa memiliki dalam diri mereka.

”Misalnya saja, selain membangun taman, pemerintah juga perlu membuat ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan menjadi sarana bermain anak-anak yang tinggal di sekitar waduk,” kata Shinta.

Yessica menambahkan, fakta masih banyaknya permukiman kumuh seperti di Waduk Ria Rio menunjukkan bahwa ada warga yang terlupakan dalam pembangunan pesat Ibu Kota.

Shinta menilai, keberadaan situ dan waduk memiliki peran vital sebagai pengendali banjir sekaligus penjaga ekosistem. Para pegiat Peta Hijau Jakarta menyebut situ dan waduk ini sebagai ruang terbuka biru. ”Disebut biru karena unsurnya air,” ucap Shinta.

Menurut Shinta, hasil survei sepanjang tahun 2015 akan dibandingkan dengan pemetaan situ dan waduk yang dilakukan Peta Hijau Jakarta pada 2010 lalu. Peta situ dan waduk ini akan menjadi rekomendasi bagi Pemprov DKI Jakarta dalam menata kota serta mendorong kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat setempat. (harry susilo)