KOMPAS.com - Sejak akhir tahun 2014 sampai awal tahun 2015, pengelolaan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki dirundung kisruh. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membentuk, bahkan melantik pejabat, Unit Pengelola PKJ TIM. Namun, sebagian seniman menolak dan terus menggelar unjuk rasa.

Bagaimana jalan keluar dari kisruh ini? Coba kita runut masalahnya sejak awal dan menggali kemungkinan solusinya.

Sebagaimana kita tahu, Taman Ismail Marzuki (TIM) dibangun oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1968. Pusat kesenian di Ibu Kota itu didirikan di atas halaman rumah pelukis Raden Saleh di kawasan Cikini, Jakarta. Berangsur-angsur taman itu dilengkapi berbagai fasilitas seni budaya, seperti ruang pameran, gedung pertunjukan, plaza, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dengan semua itu, apalagi masih minim pusat kesenian lain, TIM segera menjadi sentra perhelatan seni-budaya di Jakarta, bahkan di Indonesia.

TIM menjadi ruang presentasi karya-karya seni budaya yang besar pada zamannya. Pameran seni rupa, pertunjukan teater, tari, dan sastra adalah bentuk-bentuk karya yang banyak dipertontonkan. Banyak seniman penting yang mematangkan diri di sini. Sebut saja budayawan Umar Kayam, pengamat sastra HB Jassin, sastrawan WS Rendra, penyair Jose Rizal Manua, penyair Afrizal Malna, aktor monolog Butet Kartaredjasa, aktor monolog Putu Wijaya, koreografer Hartati, pelukis Nashar, dan pelukis Zaini.

Bisa dibilang, pada tahun 1970-an sampai 1990-an, karya-karya yang dipentaskan TIM menjadi tolok ukur dan rujukan seni budaya nasional. Para seniman berlomba-lomba tampil di TIM demi memperoleh pengakuan dari komunitas seniman. Lebih dari itu, atmosfer kehidupan di taman ini menularkan gaya hidup berkesenian ke daerah-daerah lain.

TIM mulai surut tahun 2000-an seiring dengan munculnya pusat-pusat seni budaya lain. Katakanlah seperti Bentara Budaya atau Komunitas Salihara di Jakarta. Bersamaan dengan booming pasar seni rupa tahun 2005, muncul pula galeri-galeri seni komersial atau galeri independen. Mal atau plaza juga tumbuh sebagai ruang berkesenian baru yang menantang.

Pengelolaan

Sejak didirikan sampai sekarang, selama 47 tahun, TIM dikelola badan pelaksana khusus langsung di bawah Gubernur DKI Jakarta. Pengelolaannya dipertanggungjawabkan kepada gubernur lewat sekretaris daerah (sekda). Kegiatan di TIM didanai oleh hibah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pertengahan tahun 2014, para seniman dikagetkan oleh penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 109 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM. Alasannya, dengan menjadi unit pelaksana teknis (UPT), pendanaan untuk TIM dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan lebih stabil besaran dan periodisasinya. Pendanaan lewat hibah, sebagaimana selama ini berlangsung, sebenarnya tidak bisa terus-menerus dilakukan. Pembentukan UPT adalah bentuk terobosan agar pendanaan lebih permanen.

Lebih mengejutkan lagi, pada awal Januari 2015, Pemprov DKI Jakarta tiba-tiba melantik pejabat eselon III sebagai Kepala UPT PKJ TIM. Semua itu dilakukan tanpa dialog yang terencana dan sungguh-sungguh dengan para seniman.

Sontak, para seniman dan budayawan yang biasa berproses kreatif di TIM menolak pergub tersebut. Mereka khawatir, pengelolaan oleh UPT bakal melemahkan PKJ TIM yang selama puluhan tahun menjadi mitra berkesenian bagi para seniman. Masuknya birokrasi ke pusat seni dicemaskan bakal mengganggu atmosfer berkesenian.

Para seniman mendesak pencabutan pergub. Mereka menggelar unjuk rasa mengecam Pemprov DKI Jakarta karena dinilai bertindak secara sepihak tanpa berdialog dengan seniman. Padahal, sejak tahun 2013, sejumlah seniman sudah menyusun draf peraturan daerah tentang pedoman dasar pembinaan dan pengembangan kesenian-kebudayaan di DKI Jakarta. Di situ diusulkan penyusunan Badan Otorita Khusus Kesenian Jakarta yang berfungsi sebagai lembaga pelaksana yang dibentuk oleh Pemprov DKI. Alih-alih menyetujui usulan itu, Pemprov DKI malah mengeluarkan pergub pembentukan UPT dan melantik pejabat yang mengepalai unit tersebut.

Dialog

Di tengah kisruh ini, masih terbuka peluang untuk menemukan jalan keluar. Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyatakan, Pemprov DKI siap berdialog dengan para seniman dan ingin tetap berkomitmen memberi saluran serta ruang bagi pengembangan seni dan budaya. Djarot berjanji menyambangi para seniman di TIM.

Pada Selasa sore ini, Djarot dijadwalkan berdialog dengan para seniman di TIM. Dialog ini yang menjadi tuntutan para seniman. Tentu, ini momen baik untuk menemukan jalan keluar atas polemik pengelolaan TIM. Semoga setiap pihak bisa berbicara dengan kepala dingin untuk mencari cara terbaik dalam mengelola pusat kesenian itu. Bagaimana bentuk solusinya, kita serahkan kepada semua pemangku kepentingan.

Yang pasti, solusi pengelolaan TIM bukan untuk kepentingan salah satu pihak, melainkan demi kepentingan bersama, yaitu mengembangkan ruang berkesenian yang sehat bagi masyarakat Ibu Kota. ()