Setelah berumur lebih dari satu dekade, bus transjakarta tak kunjung menjadi tulang punggung sistem transportasi di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Empat tahun terakhir, jumlah penumpang bus transjakarta cenderung stagnan.
Tahun 2011, jumlah penumpang bus transjakarta sekitar 114 juta. Pada akhir 2014, Litbang Kompas memperkirakan jumlah penumpang mencapai 118 juta atau hanya meningkat 3 persen sejak 2011 lalu. Padahal, ada penambahan empat koridor selama 2011 hingga 2013.
Bus transjakarta belum menjadi favorit warga Ibu Kota. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, hanya sedikit warga Ibu Kota yang mengandalkan bus jenis ini untuk beraktivitas sehari-hari.
Sebanyak 72,7 persen responden mengatakan jarang menumpang bus transjakarta. Bahkan, satu dari lima responden belum pernah naik bus ini. Kendaraan pribadi, seperti sepeda motor dan mobil, tetap menjadi andalan warga.
Keberadaan bus dengan jalur khusus ini tampaknya juga kurang bisa mendorong perpindahan moda kendaraan pribadi ke angkutan massal dengan signifikan. Penelitian Litbang Kompas tiga tahun lalu menyebutkan, hanya sekitar 10 persen pengguna mobil pribadi dan 24 persen pengguna sepeda motor beralih ke angkutan massal ini.
Tiga masalah
Di antara banyak hal yang harus diperbaiki oleh pengelola bus dengan jalur khusus ini, ada tiga masalah yang menurut responden harus diutamakan penanganannya. Problem pertama yang harus dibenahi adalah waktu tunggu bus yang relatif lama. Kajian Litbang Kompas pada tahun 2012, waktu tunggu bus transjakarta 10-30 menit.
Hingga saat ini, waktu tunggu bus tidak banyak berubah. Yessica Mandoy lewat rubrik ”Redaksi YTH Kompas” mengeluhkan hampir setiap hari menunggu kedatangan bus di Halte Harmoni selama 30 menit sampai 1 jam (Kompas, 30 Desember 2014).
Waktu tunggu bus yang relatif lama ini bisa disebabkan banyak faktor, salah satunya jalur bus yang tidak bisa sepenuhnya steril. Selain itu, armada bus yang ada juga terbatas.
Masalah kedua yang harus ditangani adalah minimnya kualitas bus dan halte yang membuat penumpang tidak nyaman. Pendingin yang rusak, kursi penumpang keropos, serta kondisi halte yang tidak memadai menyebabkan pengguna mengeluh dan meninggalkan bus transjakarta jika ada pilihan moda lain. Halte yang sulit dijangkau oleh kelompok masyarakat tertentu juga menurunkan minat calon pengguna bus.
Seorang responden berusia lanjut, Ibu Abu Bakar (63), selama ini tidak pernah menggunakan bus transjakarta. Padahal, rumahnya berada tak jauh dari jalur bus transjakarta. Karena lututnya sakit, Ibu Abu Bakar memilih memakai mikrolet. ”Naik jembatan (untuk menuju halte bus transjakarta) terlalu tinggi,” keluh Ibu Abu Bakar.
Selain perbaikan waktu tunggu dan kualitas layanan, keamanan juga harus diberi perhatian. Beberapa tahun belakangan ini, kejahatan, seperti pencopetan dan pelecehan seksual, masih saja terjadi di dalam bus ataupun halte.
Febi (20), responden dari Jakarta Utara, pernah melihat pencopetan di atas bus transjakarta. ”Biasanya pencopet beraksi di sambungan bus gandeng,” ujarnya.
Ketiga masalah yang dipilih oleh responden untuk cepat ditangani ini selaras dengan hasil Dialog Publik tentang ”Transisi Pengelolaan Transjakarta dan Peningkatan Mutu Pelayanan” yang menyatakan penumpang mengharapkan keterangkutan, keamanan, dan kenyamanan saat menggunakan bus transjakarta (Kompas, 23 Desember 2014).
Ketika kendala-kendala ini dapat diatasi, semoga ke depan bus transjakarta yang bergerak di 12 koridor dan 1 koridor yang akan dibangun, koridor 13 dengan rute Jalan Tendean-Blok M-Ciledug, semakin diminati warga Jakarta. (M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.