Catatan Kaki Jodhi Yudono
Kelak, entah berapa puluh tahun lagi, ketika Jakarta mungkin sudah tak tergambar lagi di peta Indonesia lantaran sudah tenggelam, anak cucu kita yang akan melacak keberadaan bekas ibu kota negara Republik Indonesia ini bisa menemukan sejarah Jakarta melalui lagu-lagu yang pernah dibikin oleh seniman-seniman terdahulu. Berpuluh lagu dibikin dan dinyanyikan oleh para penyanyi mengenai Jakarta. Dari sana terbaca jelas betapa Jakarta memang tak pernah lepas dari persoalan banjir, macet, kumuh, kebakaran, dan beragam persoalan lainnya.
Melalui lagu "Kompor Meleduk", Benyamin S bernyanyi begini:
Aah….! Nya’ banjir!
Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk
Ruméh ané kebakaran garé-garé kompor mleduk
Ané jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet
Rumah ané kebanjiran gara-gara got mampet
Aa~ti-ati kompor meledug
Aa~ti ané jadi dag-dig-dug (heh.. jatuh duduk)
Aa~yo-ayo bersihin got
Jaa~ngan takut badan blépot
Coba enéng jangan ribut, jangan padé kalang kabut
Aarrrgh!!…
Begitulah, jika pada tahun 70-an banjir di Jakarta gara-gara angin ribut dan hujan deras di wilayah Bogor, serta got yang mampet di wilayah permukiman Jakarta, maka bertambah tahun banjir di Jakarta adalah karena permukaan tanah yang kian ambles dan kondisi tanah yang tak lagi bisa menyerap air dengan baik.
Maka, seperti yang digambarkan oleh Iwan Fals tentang Jakarta melalui lagu berjudul "Lagu Dua" (album Hijau – 1992), Jakarta pun habis!
Jakarta sudah habis
Musim kemarau api
Musim penghujan banjir
Jakarta tidak bersahabat
Api dan airnya bencana
Entah karena kebodohan kecerobohan
Atau keserakahan
....
Ya, jika didera oleh banjir, permukaan tanah kian rendah dari permukaan laut, air tanah telah tercemar, udara sudah bercampur racun, maka gedung-gedung pencakar itu pun bakal roboh, dan penghuni kota terpadak sak Indonesia itu pun pastilah akan berlarian pergi dari Jakarta. Maka, benarlah kata Iwan Fals, Jakarta sudah habis!
Maka, jikalau beberapa hari ini kita kembali kebanjiran, sesungguhnya kita sedang membaca cerita yang berulang-ulang setiap tahunnya yang terjadi di bumi Jakarta. Atau, dalam istilah seorang kawan saya yang bernama Petricia, tiap tahun kota ini menyelenggarakan "The Jakarta International Water Park" dengan tiket gratis dan dresscode pakaian renang.
Guyonan kawan saya di atas hanyalah simbol dari keputusasaan lantaran persoalan banjir tidak pernah bisa diatasi meski pemerintah dan gubernur DKI Jakarta berulang berganti beberapa kali.